#51 TANGAN POCONG DI RUMAH PEJABAT
Tangan Pocong
di Rumah Pejabat.
Namanya
Kartika. Tiga belas tahun yang lalu, dia adalah seorang pegawai pabrik dengan
gaji pas-pasan, namun hati penuh cinta dan harapan. Suaminya, Budi, saat itu
adalah seorang pemuda pengangguran yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan
melamunkan masa depan yang entah di mana. Kartikalah tulang punggung keluarga
kecil itu, berjuang mati-matian agar dapur tetap mengepul. Dia tak pernah
mengeluh. Bagiknya, cinta dan kesederhanaan adalah segalanya.
Namun,
nasib berkata lain. Keberuntungan yang datang tiba-tiba, berawal dari kedekatan
Budi dengan seorang tokoh dan pemilik usaha kaya raya. Entah bagaimana, Budi
direkomendasikan untuk menduduki sebuah jabatan penting di salah satu
perusahaannya. Sejak saat itu, hidup mereka berubah drastis. Budi naik pangkat,
uang mengalir deras, dan mereka pindah ke rumah mewah bak istana yang selama
ini hanya bisa dia bayangkan.
Tapi,
bersama kekayaan itu, Budi ikut berubah. Suaminya yang dulu hangat, kini
menjadi dingin. Jarang pulang, jarang memberi kabar, dan jarang lagi berbagi
cerita dengannya seperti dulu. Tawa renyah mereka berganti dengan kesunyian
yang mencekam di rumah megah ini. Tiga belas tahun pernikahan, dan mereka belum
juga dikaruniai seorang anak. Kesepian itu menggerogoti jiwanya, membuat rumah
ini terasa hampa, bagai kuburan. Dan di tengah kehampaan itulah, perlahan tapi
pasti, suasana horor mulai menyelimuti rumah mewahnya sendiri.
Kesepiannya, entah bagaimana, telah menarik sesuatu dari dunia lain. Sesuatu
yang akan menemaninya dalam kesendirian, dengan cara yang paling mengerikan.
Malam
selalu menjadi waktu yang paling sunyi dan mencekam bagi Kartika. Jam dinding
di ruang tamu yang luas menunjukkan angka sepuluh, namun bagi Kartika, waktu
seolah berhenti berputar. Lampu kristal mewah di tengah ruangan memancarkan
cahaya terang benderang, memantul pada lantai marmer yang mengkilap dan perabot
bergaya Eropa yang mahal. Namun, semua kemegahan itu tak mampu mengusir
kegelapan yang bersarang di hatinya. Budi, suaminya, belum pulang. Seperti
biasa. Sudah dua hari lamanya Kartika tak melihat batang hidung suaminya itu,
tak mendengar suaranya secara langsung, apalagi sentuhannya. Pesan singkat yang
ia kirimkan, berisi kerinduan dan pertanyaan akan kapan suaminya pulang, hanya
dibalas dengan emoji jempol. Sebuah balasan singkat yang terasa begitu dingin
dan jauh. Teleponnya? Tak pernah diangkat.
Kartika
duduk sendirian di meja makan yang panjang, terbuat dari kayu jati ukiran
rumit, kursi-kursinya berlapis beludru mewah. Di depannya, hidangan makan malam
yang disiapkan Bik Inah, pembantu rumah tangga, sudah dingin dan tak tersentuh.
Salmon panggang dengan saus lemon butter, mashed potato lembut,
dan asparagus yang renyah. Makanan-makanan mewah yang dulu hanya bisa ia
lihat di majalah, kini tersaji di depannya setiap malam. Namun, semua itu
terasa hambar, tak berasa, bagai tumpukan gizi tanpa jiwa. Ia merindukan
masa-masa dulu, saat mereka makan di teras kontrakan sempit yang beratap asbes,
dengan lauk tempe goreng dan sambal, diiringi suara radio usang dan tawa renyah
mereka. Saat itu, obrolan mengalir begitu saja, tanpa perlu dipancing, tanpa
perlu dipikirkan. Sekarang, ia punya segalanya secara materi, kecuali perhatian
dan kehangatan dari suaminya.
"Nyonya,
apa mau saya siapkan teh hangat?" suara Bik Inah, yang tiba-tiba muncul
dari balik pintu dapur, memecah kesunyian yang mencekam itu. Suara Bik Inah,
yang selalu lembut dan penuh perhatian, kini terdengar seperti musik orkestra
bagi Kartika, satu-satunya suara manusia yang berinteraksi dengannya malam ini.
Kartika
tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak sampai ke matanya. "Tidak usah Bik.
Terima kasih. Saya mau ke kamar saja."
Bik
Inah mengangguk, sorot matanya menyiratkan keprihatinan yang mendalam pada
nyonyanya. Ia tahu, di balik kemewahan ini, Nyonya Kartika sangat kesepian.
Setelah Bik Inah kembali ke dapur, Kartika bangkit dari kursinya, langkahnya
gontai menuju kamar utama.
Kamar
utama itu begitu luas, lebih besar dari seluruh kontrakan lamanya. Ranjang
berukuran king size yang dihiasi tiang-tiang ukiran, seprai satin sutra,
dan interior mahal dengan sentuhan emas dan marmer. Kamar ini seharusnya
menjadi surga, tempat ia dan Budi berbagi mimpi dan keintiman. Namun, kini
terasa seperti sangkar emas yang sunyi. Kartika mengambil ponselnya dari nakas,
membuka galeri foto. Ia menatap foto pernikahannya dengan Budi, belasan tahun
yang lalu. Wajah Budi yang dulu kurus, polos, dengan senyum malu-malu, dan
tatapan mata yang selalu memancarkan cinta dan kekaguman padanya. Berbanding
terbalik dengan Budi yang sekarang, yang selalu tampil rapi dengan setelan jas
mahal, sibuk dengan urusan kantor, rapat, dan rekan-rekannya sesama pejabat.
Tatapan matanya yang dulu hangat, kini seringkali terlihat lelah atau kosong,
seolah ada jarak yang tak bisa lagi Kartika jangkau. Air mata menetes di
pipinya, membasahi layar ponsel.
"Aku
merindukanmu mas Budi," bisikan Kartika terdengar parau, teredam dalam
keheningan kamar yang luas. "Aku merindukan Budi yang dulu. Budi yang
sederhana, tapi selalu ada untukku."
Ia
merebahkan diri di ranjang yang empuk, merasakan dinginnya seprai satin
membelai kulitnya. Dengan tangan bergetar, ia meraih sakelar di dinding,
mematikan lampu kamar. Kegelapan total menyelimuti ruangan, hanya diterangi
oleh cahaya remang-remang dari lampu taman yang menembus gorden tipis. Pikiran
Kartika tetap terang, dipenuhi kenangan masa lalu dan kesedihan masa kini. Ia
mencoba memejamkan mata, memohon agar kantuk segera datang, berharap bisa tidur
dan melupakan sejenak kesedihannya, melupakan kehampaan yang terus
menggerogoti.
Ia
hampir terlelap, saat tiba-tiba ia merasa ranjangnya bergerak. Bukan
getaran kecil yang biasa terjadi karena gempa bumi ringan atau mobil yang
lewat. Ini adalah pergerakan yang lebih spesifik, seperti ada yang sedang
merangkak di bawah kolong tempat tidurnya, menggeser ranjang dari bawah. Suara 'krekk...
krekk...' samar, namun begitu jelas terdengar di keheningan malam yang
pekat, seolah kayu ranjang yang kokoh itu sedang bergeser perlahan di atas
lantai marmer. Jantung Kartika langsung berdebar kencang, memompa darah dengan
cepat, menciptakan sensasi gemuruh di telinganya. Ia membuka mata lebar-lebar,
napasnya tertahan di tenggorokan, mencoba mendengarkan.
Hening.
Suara itu menghilang. Tidak ada suara lagi. Hanya detak jantungnya sendiri yang
berdegup kencang. Kartika mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya perasaannya,
imajinasinya yang terlalu liar karena kesepian yang berkepanjangan. Atau
mungkin, hanya suara tikus yang bersembunyi di bawah ranjang. Namun, ia tak
bisa mengabaikan fakta bahwa ranjangnya memang terasa sedikit bergeser dari
posisi semula, miring beberapa sentimeter dari dinding.
Ia
kembali mencoba tidur, memaksa otaknya untuk rileks. Ia memiringkan badannya ke
samping kanan, membelakangi jendela, dengan posisi kakinya menjuntai sedikit ke
kolong tempat tidur, persis di tepi ranjang. Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan
dingin yang menusuk di betisnya, sebuah sensasi yang membekukan darahnya.
Bukan dingin seperti udara AC, melainkan dingin yang lembap dan aneh, seolah
ada tangan yang menyentuhnya dari bawah. Sensasi dingin itu begitu kuat hingga
membuat bulu kuduknya berdiri, merinding hebat, seperti ada ribuan semut
merayap di kulitnya. Ia sontak menarik kakinya dengan cepat, seolah tersengat
listrik.
Kartika
langsung duduk tegak di ranjang, tubuhnya gemetar, jantungnya berdebar tak
karuan di dalam dadanya. Ia menatap kolong tempat tidur yang gelap gulita. Tidak
ada apa-apa yang terlihat, hanya kegelapan dan keheningan yang menyesakkan.
Namun, ia bisa merasakan aroma aneh yang samar-samar namun menusuk
hidung, seperti bau tanah basah yang bercampur dengan bau melati yang dingin
dan misterius. Aroma itu bukan seperti wangi bunga melati dari vas bunga yang
sering ia letakkan di ruang tamu, melainkan bau yang lebih mistis, aneh, dan
membuat perutnya mual.
"Siapa
di sana?" bisik Kartika, suaranya gemetar, bahkan cenderung parau. Ia
mencoba menggapai sakelar lampu meja di nakas, namun tangannya bergetar hebat,
kesulitan meraihnya.
Hening.
Tidak ada jawaban, tidak ada suara, hanya keheningan yang semakin mencekam.
Kartika menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya yang panik. Mungkin
ia hanya berhalusinasi karena kesepian dan kelelahan yang menumpuk. Tapi
sentuhan dingin itu, dan bau aneh itu... terasa begitu nyata, terlalu nyata
untuk diabaikan sebagai sekadar imajinasi. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak
beres di rumah ini. Sesuatu yang telah tertarik pada kesepiannya, pada
kehampaan yang ia rasakan setiap malam di rumah megah ini. Dan ia merasakan,
itu adalah awal dari teror yang akan datang, teror yang akan menguras
ketenangannya, seolah "mereka" tahu persis di mana titik terlemahnya.
Setelah
merasakan sentuhan dingin yang menusuk dari kolong tempat tidur, Kartika tak
bisa lagi memejamkan mata. Otaknya terus bekerja, memutar ulang kejadian aneh
barusan. Ia duduk bersandar di kepala ranjang yang empuk, memeluk lututnya
erat-erat, seolah mencari perlindungan dari sesuatu yang tak terlihat.
Pikirannya kalut, bercampur aduk antara rasa takut dan kebingungan. Apakah
rumah mewah ini, yang ia anggap istana, ternyata angker? Ataukah kesepiannya
yang mendalam, kehampaan yang terus menggerogoti jiwanya, telah menjadi magnet
bagi sesuatu dari dunia lain?
Ia
memaksakan diri memejamkan mata, berharap kegelapan bisa membawanya pada tidur
yang tenang, mengusir rasa takut dan keraguan. Namun, bukannya ketenangan, ia
justru jatuh ke dalam sebuah mimpi buruk yang terasa begitu nyata, seolah ia
benar-benar mengalaminya.
Dalam
mimpinya, Kartika menemukan dirinya berada di sebuah pemakaman tua yang
gelap dan sunyi. Suasana di sana begitu mencekam, diselimuti kabut tipis
yang bergerak perlahan. Nisan-nisan batu yang sudah lapuk, dengan ukiran yang
nyaris tak terbaca, berjejer rapi sejauh mata memandang, ditutupi lumut hijau
pekat dan rerumputan liar yang tumbuh menjulang. Udara terasa dingin dan
lembap, menusuk hingga ke tulang sumsum, dan bau tanah basah bercampur
melati yang dingin dan mistis menyeruak, sama persis dengan aroma yang ia
cium di kamarnya. Ia berjalan di antara nisan-nisan itu, langkahnya terasa
berat, seolah ada beban tak terlihat yang menahan setiap pijakannya. Ia
mencari-cari sesuatu, namun tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari di tempat
mengerikan itu.
Tiba-tiba,
dari balik sebuah nisan besar yang paling tua, yang terlihat paling usang dan
dipenuhi retakan, ia mendengar suara tangisan anak kecil yang sangat pilu.
Suara itu terdengar begitu menyayat hati, penuh kesedihan dan keputusasaan,
membuat air mata Kartika ikut mengalir deras di pipinya. Ia mendekat perlahan,
jantungnya berdebar kencang, mengikuti arah suara tangisan itu. Saat ia sampai
di balik nisan, ia melihat sebuah boneka kain usang tergeletak di tanah
yang lembap, di samping nisan. Boneka itu tampak lusuh, kotor, dan sebagian
kainnya sudah sobek, namun matanya yang terbuat dari kancing hitam menatap
kosong ke arahnya.
Saat
tangannya yang gemetar menyentuh boneka itu, tiba-tiba, dari balik nisan yang
sama, muncul sosok pocong. Kain putihnya terlihat kusam dan kotor,
dengan ikatan tali yang melilit erat di kepala, leher, dan kakinya. Wajahnya
tidak terlihat jelas karena tertutup kain kafan, namun dua lubang mata yang
gelap dan kosong menatap langsung ke arah Kartika, seolah menembus jiwanya.
Pocong itu tidak bergerak, hanya berdiri diam di sana, mengawasinya,
memancarkan aura dingin yang membekukan.
Kemudian,
pocong itu perlahan mengulurkan tangannya yang terbalut kain kafan putih,
jari-jarinya tampak kotor dan kaku, mencoba meraih Kartika. Suara bisikan serak
dan dingin terdengar dari balik kain kafan, seperti hembusan angin kuburan:
"Ikutlah... kesepian... kami juga kesepian... temani kami..."
Kartika
berteriak keras, suaranya tercekat di tenggorokan, tidak mampu keluar
sepenuhnya. Ia mencoba lari, memutar tubuhnya, namun kakinya terasa kaku, tidak
bisa digerakkan, seolah terpaku di tanah. Ia merasa ada tangan-tangan dingin
yang tak terlihat menariknya ke bawah, ke dalam tanah yang lembap,
menyeretnya perlahan ke dalam kegelapan. Ia merasa jiwanya ditarik, mendekat
pada kengerian itu.
Ia
terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal, terengah-engah mencari
oksigen, seolah baru saja lolos dari himpitan. Tubuhnya gemetar hebat dan basah
oleh keringat dingin, meskipun suhu kamar sangat sejuk.
Ia
melirik jam digital di nakas. Angka merah terang menunjukkan pukul 03.00
dini hari. Sebuah waktu yang kerap dikaitkan dengan aktivitas gaib. Ia
menatap kolong tempat tidur yang gelap, perasaan takutnya semakin menjadi.
Bayangan pocong di mimpi itu terasa sangat nyata, seolah baru saja terjadi di
depannya. Ia bergegas meraih sakelar lampu, menyalakan lampu kamar secepat
kilat, berharap cahaya bisa mengusir kengerian itu.
Ia
mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, namun bayangan pocong di
mimpi itu terasa sangat nyata. Ia menyalakan semua lampu di kamar, bahkan
beranjak dari ranjang untuk menyalakan lampu di ruang tamu dan dapur, berharap
cahaya yang melimpah bisa mengusir kesunyian dan ketakutan yang menggerogotinya.
Ia bahkan menyalakan televisi, membiarkan suara siaran apa pun memecah
keheningan rumah.
Keesokan
harinya, dengan wajah pucat dan mata merah karena kurang tidur, Kartika sengaja
tidak beranjak dari tempat tidur sampai Budi pulang. Ia ingin menceritakan
semuanya, semua teror yang ia alami, berharap Budi akan percaya dan memberinya
dukungan. Namun, Budi pulang larut malam lagi, sekitar tengah malam. Ia
terlihat sangat lelah, raut wajahnya menunjukkan kepenatan yang mendalam dari
pekerjaan dan urusan kantor.
"mas
Budi, aku ingin bicara," kata Kartika, suaranya pelan dan bergetar,
berusaha sekuat tenaga agar tidak terdengar panik.
Budi
hanya mengangguk pelan, tanpa menoleh, langkahnya gontai menuju kamar mandi.
"Aku lelah sekali Sayang. Nanti saja ya. Aku mau istirahat." Suara
keran air yang bergemuruh di kamar mandi seolah menenggelamkan harapan Kartika
untuk bicara.
Hati
Kartika kembali hancur berkeping-keping. Ia merasa semakin sendiri, semakin
terasing di tengah kemewahan ini. Ia menyadari, ia tidak bisa mengandalkan Budi
untuk masalah ini, setidaknya tidak saat ini. Ia harus menghadapinya sendiri.
Ia
kembali ke kamarnya, ke ranjang yang menjadi saksi bisu teror semalam. Saat ia
hendak duduk di tepi ranjang, matanya menangkap sesuatu di lantai kayu di bawah
kolong tempat tidurnya. Bekas tanah basah samar-samar terlihat,
membentuk jejak kecil yang tidak seharusnya ada di lantai marmer yang selalu
bersih itu. Dan di sisi ranjang tempat ia tidur, tepatnya di seprai satin
putih, ia melihat bekas noda lumpur yang tidak terlalu jelas bentuknya,
namun cukup untuk membuat jantungnya berdebar kencang lagi. Darahnya berdesir
dingin. Ia memegang betisnya, tempat ia merasakan sentuhan dingin semalam. Ia
meraba betisnya. Dan ia merasakannya. Bekas jari-jari kotor seperti bekas
lumpur, yang tidak terlalu jelas bentuknya, namun terasa nyata dan dingin
di kulitnya.
Darahnya
berdesir hebat. Sentuhan itu nyata. Mimpi itu nyata. Bekas lumpur itu adalah
bukti konkret yang tak bisa dibantah. Ada sesuatu di bawah kolong tempat
tidurnya, sesuatu yang bukan dari dunia ini. Sesuatu yang telah datang dan
menyentuhnya, bahkan meninggalkan jejak. Dan ia tahu, tanpa keraguan sedikit
pun, bahwa sesuatu itu adalah pocong. Rumah mewah ini, yang seharusnya
memberinya kenyamanan, kini menjadi tempat teror yang mengerikan, sebuah
penjara yang mengurungnya dalam ketakutan.
Ketakutan
Kartika kini semakin menjadi-jadi, melingkupi setiap inci keberadaannya. Bekas
lumpur di betisnya adalah bukti nyata, tak terbantahkan, bahwa ia tidak berhalusinasi.
Pocong itu nyata, dan entah bagaimana, keberadaannya terasa erat
terhubung dengan rasa kesepian Kartika yang menggerogoti. Rumah mewah ini, yang
dulu ia impikan, kini terasa seperti sangkar yang menyesakkan, dipenuhi aura
mencekam.
Dengan
keberanian yang tersisa, Kartika mencoba mencari tahu tentang sejarah rumah
ini. Ia bertanya kepada Bik Inah, pembantu rumah tangga yang sudah lama bekerja
dengannya. "Bik," Kartika memulai, mencoba menjaga suaranya tetap
tenang, "apa Bik Inah tahu sejarah rumah ini? Dulu siapa pemiliknya?"
Bik
Inah mengerutkan kening, mencoba mengingat. "Setahu saya Nyonya, rumah ini
dulunya milik seorang pengusaha yang sangat kaya. Tapi, saya dengar dia
bangkrut mendadak, lalu entah pindah ke mana. Setelah itu, rumah ini sempat kosong
lama sekali sebelum Tuan Budi membelinya." Bik Inah tidak tahu detail
lebih jauh, dan sorot matanya yang sedikit takut saat membicarakan masa lalu
rumah itu membuat Kartika enggan bertanya lebih lanjut. Ia juga mencoba
bertanya pada satpam yang berjaga di pos depan, Pak Maman. Namun, Pak Maman
hanya mengulangi cerita yang sama, tanpa informasi baru yang bisa meredakan
kegelisahan Kartika. Semua upaya Kartika untuk menemukan penjelasan rasional
berakhir sia-sia.
Malam
itu, Budi kembali tidak pulang. Sudah menjadi rutinitas menyedihkan. Kartika
duduk sendirian di ruang tamu yang luas, dikelilingi perabot mahal yang terasa
asing. Lampu-lampu kristal di langit-langit menyala terang benderang,
membanjiri ruangan dengan cahaya, namun tak mampu mengusir bayangan kegelapan
di hatinya. Ia mencoba menyibukkan diri dengan menonton televisi, mengganti
saluran dari satu acara ke acara lain tanpa fokus. Namun, pikirannya terus
kembali ke kolong tempat tidur dan bekas lumpur misterius di betisnya. Sensasi
dingin sentuhan itu masih terasa jelas, seolah melekat di kulitnya.
Tiba-tiba,
dari dalam dinding, tepatnya dari balik rak buku besar yang menjulang tinggi
hingga langit-langit, Kartika mendengar suara aneh. Bukan suara tikus,
bukan pula suara pipa air. Ini adalah suara gerusan dan gesekan pelan,
seperti ada sesuatu yang mencoba mengikis dinding dari dalam, atau mungkin
merangkak di antara celah-celah struktur bangunan. Krekk... krrkk...
Suara itu terdengar begitu nyata, begitu dekat, membuat bulu kuduk Kartika
merinding hebat. Ia menatap ke arah rak buku, matanya membelalak.
Dengan
jantung berdebar kencang, Kartika perlahan mendekat ke rak buku, kakinya terasa
berat, seolah enggan melangkah. Ia menempelkan telinganya ke dinding di
belakang rak buku itu. Suara gerusan itu semakin jelas, dan kini, ia mencium bau
busuk yang sangat menyengat, seperti bau bangkai yang membusuk, bercampur
dengan aroma melati dingin yang mistis dan menusuk hidung. Bau itu begitu kuat,
begitu menjijikkan, hingga membuat perutnya mual dan tenggorokannya tercekat.
Kemudian,
di tengah bau yang memualkan itu, ia mendengar bisikan-bisikan lirih
dari balik dinding. Suara itu samar, namun terdengar sangat jelas, seperti
paduan suara yang berbicara dalam bahasa yang tidak ia mengerti, seperti
desisan angin yang membawa kata-kata kuno. Namun, di antara bisikan-bisikan
yang tidak jelas itu, ada beberapa kata yang terdengar jelas, menembus gendang
telinganya, seolah sengaja diucapkan dengan tekanan: "Kesepian...
temani... kami... dia..."
Darah
Kartika berdesir dingin. Ia sontak mundur perlahan, langkahnya gontai, matanya
tak lepas dari dinding di balik rak buku itu. Ia tahu, ada sesuatu yang
bersembunyi di balik dinding rumah ini. Sesuatu yang telah lama berada di sana,
dan kini mulai menampakkan diri. Ia ingin berteriak sekuat tenaga, memanggil
bantuan, namun suaranya tercekat di tenggorokan, terperangkap oleh rasa takut
yang luar biasa.
Dengan
panik, Kartika berlari terbirit-birit menuju kamarnya. Ia membuka pintu dengan
tergesa-gesa, lalu menguncinya rapat-rapat. Ia meringkuk di ranjangnya, memeluk
lututnya erat-erat, gemetar ketakutan, napasnya memburu. Ia mendengar suara
gerusan dan gesekan di dinding, kini terdengar lebih dekat, seolah ada yang
bergerak di dalam dinding, mengikuti langkahnya, mendekat ke arah kamarnya.
Suara itu semakin intens, krekk... krrkk... krekk..., menciptakan irama
mengerikan di keheningan malam.
Suara
itu berhenti tepat di balik dinding kamar Kartika. Keheningan sesaat melanda,
sebelum kemudian digantikan oleh bau busuk dan melati yang semakin kuat,
memenuhi seluruh kamar, menyesakkan dadanya. Bisikan-bisikan lirih itu kembali
mengiang, kini terdengar lebih jelas, lebih dekat, dan penuh ancaman: "Kamu
tidak sendiri... kami di sini... temani kami... selamanya..."
Kartika
memejamkan mata erat-erat, air mata mengalir di pipinya. Ia tahu, ia telah
terperangkap di rumah ini, ditemani oleh sesuatu yang tak terlihat, sesuatu
yang mengerikan. Ia merasa semakin putus asa, terisolasi dalam ketakutannya
sendiri. Kesepiannya telah menjadi portal bagi teror ini, membuka pintu bagi
makhluk-makhluk yang haus perhatian, haus kehadiran. Dan ia tidak tahu
bagaimana cara menghentikannya. Ia merindukan Budi, ia merindukan kehadiran
suaminya, yang kini entah di mana, sibuk dengan dunianya sendiri. Ia hanya
berharap Budi pulang, berharap ada seseorang yang bisa melindunginya, agar ia
tidak sendirian menghadapi teror ini. Harapan itu, meski samar, adalah
satu-satunya pegangan di tengah badai ketakutan yang melanda.
Malam-malam
berikutnya menjadi neraka yang tak berujung bagi Kartika. Tidurnya selalu
diganggu. Suara gerusan di dalam dinding, seperti ada yang mengikis lapisan
semen, menjadi melodi mengerikan yang kini akrab di telinganya. Bau busuk dan
melati yang datang dan pergi secara misterius, seolah mengikuti kemana pun ia
pergi, serta bisikan-bisikan lirih yang kadang ia dengar dari sudut ruangan,
menjadi rutinitas menakutkan yang tak bisa ia hindari. Ia sudah tidak bisa
tidur nyenyak sama sekali. Setiap malam, ia terbangun berkali-kali, dipenuhi
keringat dingin dan jantung berdebar kencang. Tubuhnya semakin kurus, matanya
cekung dengan lingkaran hitam pekat di bawahnya, dan wajahnya pucat pasi,
seperti mayat hidup.
Bik Inah dan
satpam, Pak Maman, mulai merasa khawatir dengan kondisi Kartika yang menurun drastis.
Mereka sering melihatnya melamun, berbicara sendiri, dan menolak makan.
"Nyonya sakit ya? Kok pucat sekali?" tanya Bi Inah suatu pagi, dengan
raut wajah cemas. Kartika hanya bisa menggelengkan kepala, mencoba tersenyum
tipis. "Tidak apa-apa Bik. Saya hanya kurang enak badan dan sedikit
kelelahan." Ia tak berani mengungkapkan kebenaran yang mengerikan itu. Ia
takut mereka akan menganggapnya gila, atau lebih buruk, mereka sendiri akan
ikut ketakutan dan meninggalkan rumah itu.
Sementara itu,
Budi masih jarang pulang. Jadwalnya yang padat sebagai pejabat, dengan
rapat-rapat penting dan acara sosial yang tak ada habisnya, membuatnya semakin
jauh. Sekali atau dua kali dalam seminggu ia pulang, namun hanya sebentar,
sekadar berganti pakaian atau mengambil berkas. Ia terlalu lelah dan sibuk
dengan dunianya, hingga tidak menyadari perubahan drastis pada istrinya yang
kian merana.
Kartika pernah
mencoba bercerita. Suatu malam, ketika Budi kebetulan pulang dan duduk di
sampingnya saat makan malam yang sunyi. "mas Budi," Kartika memulai
dengan suara ragu, "aku... aku merasa ada yang aneh di rumah ini. Aku
sering mendengar suara-suara, dan... aku melihat hal-hal aneh."
Budi menatapnya
sekilas, lalu kembali fokus pada makanannya. "Ah kamu ini. Halusinasi saja
mungkin Sayang. Kamu terlalu kesepian, melulu di rumah. Makanya jangan melulu
di rumah, coba sesekali keluar, arisan dengan istri pejabat lain, atau pergi ke
salon," kata Budi, enteng, tanpa sedikit pun nada kekhawatiran atau
empati. Ia tertawa kecil, seolah apa yang diceritakan Kartika adalah lelucon.
Hati Kartika semakin hancur. Kata-kata Budi, yang seharusnya menenangkan,
justru menusuknya lebih dalam, menegaskan bahwa ia benar-benar sendirian dalam
menghadapi teror ini.
Suatu malam, saat
Kartika hampir terlelap di ranjangnya, ia kembali merasakan ranjangnya
bergerak. Kali ini, bukan sekadar getaran samar, melainkan sebuah
pergerakan yang lebih jelas dan agresif, seperti ada yang dengan sengaja
merangkak di bawah kolong tempat tidurnya, menggeser ranjang dari bawah. Suara 'krekk...
krekk... krekk...' terdengar lebih keras dari sebelumnya, membuat struktur
ranjang berderit, seolah sedang menahan beban yang berat. Aroma busuk dan
melati dingin itu kembali menyengat hidungnya, kini terasa jauh lebih pekat,
menyesakkan dadanya. Ia mencoba memejamkan mata erat-erat, berharap itu
hanyalah mimpi buruk lainnya, hasil dari pikirannya yang kacau.
Namun, ia
merasakan kakinya yang menjuntai sedikit ke kolong tempat tidur terasa dingin.
Dingin yang menusuk, dingin yang bukan berasal dari suhu ruangan. Tiba-tiba, ia
merasakan sentuhan dingin yang menusuk di betisnya, kali ini jauh lebih
kuat dari sebelumnya, lebih nyata, seolah ada tangan yang mencengkeramnya
erat-erat. Jantung Kartika langsung berdebar sangat kencang, memompa darah ke
seluruh tubuhnya, menciptakan sensasi gemuruh di telinganya. Ia membuka mata
lebar-lebar.
Dan ia
melihatnya. Dari kegelapan kolong tempat tidur yang pekat, di bawah cahaya
remang-remang lampu tidur yang lupa ia matikan, muncul sepasang tangan yang
terbalut kain kafan putih kusam. Jari-jari tangan itu terlihat kotor,
sedikit bernoda tanah dan lumpur kering, dan kuku-kukunya tampak panjang dan
kehitaman. Tangan itu mencengkeram pergelangan kakinya kuat-kuat, cengkeraman
yang begitu dingin dan begitu kuat, seolah terbuat dari besi.
Kartika berteriak
histeris, suara melengking keluar dari tenggorokannya, namun segera tercekat,
tak mampu keluar sepenuhnya. Ia mencoba menarik kakinya dengan sekuat tenaga,
meronta-ronta, namun cengkeraman tangan-tangan itu begitu kuat, tak
tergoyahkan. Tangan pocong itu menariknya ke bawah, ke dalam kegelapan
kolong tempat tidur yang mengerikan. Tubuhnya terseret sedikit, ia merasakan
kain seprai bergesekan dengan kulitnya, dan kakinya sempat masuk ke kolong
ranjang, hingga ia merasakan dinginnya lantai marmer yang menusuk hingga ke
tulang sumsum. Bau busuk itu kini begitu kuat, membuat matanya berair dan
perutnya bergejolak.
Ia berteriak
lagi, sekuat tenaga, memanggil nama Budi yang entah di mana, memanggil nama Tuhan
berulang kali, berharap ada mukjizat yang bisa menyelamatkannya. Ia
meronta-ronta, melawan cengkeraman tangan-tangan dingin itu, merasakan setiap
serat ototnya menegang dalam perjuangan hidup atau mati. Ia tahu, jika ia
terseret lebih jauh, jika seluruh tubuhnya berhasil ditarik masuk ke dalam
kolong ranjang yang sempit dan gelap itu, ia akan tamat. Jiwanya akan ikut
tenggelam dalam kesunyian dan kegelapan yang sama seperti entitas itu.
Tiba-tiba,
seperti ada kekuatan tak terlihat yang menariknya kembali, cengkeraman itu
melemah, lalu menghilang begitu saja, secepat ia datang. Tubuhnya kembali
terhempas ke atas ranjang, napasnya tersengal-sengal. Kartika langsung menarik
kakinya, meringkuk di pojok ranjang, memeluk lututnya erat-erat, gemetar hebat
tak terkendali, menangis histeris. Ia menatap kolong tempat tidur yang gelap,
napasnya memburu, matanya membelalak ketakutan. Tidak
ada apa-apa di sana, hanya kegelapan dan keheningan. Bau busuk dan melati
pun menghilang, seolah semua itu hanyalah mimpi buruk yang baru saja berakhir.
Ia meraba
betisnya, tempat tangan-tangan dingin itu mencengkeram. Dan ia melihatnya. Bekas
tanah dan jari-jari yang jelas tercetak di kulit betisnya, seperti cap yang
ditinggalkan oleh tangan-tangan kotor itu. Bekas itu terasa dingin dan sedikit
gatal. Itu bukan mimpi. Itu nyata. Tangan pocong itu benar-benar mencoba
menyeretnya, mencoba membawanya ke dimensi lain, ke dalam kesepian yang sama
dengan mereka.
Kartika tahu, ia
tidak bisa lagi tinggal di rumah ini. Kesepiannya, kehampaannya, telah menjadi
daya tarik yang tak terlihat bagi entitas itu, dan kini mereka mencoba
mengambilnya, menjadikannya bagian dari dunia mereka. Ia harus pergi, ia harus
menyelamatkan dirinya sendiri. Ia menyadari, kekayaan dan kemewahan ini tidak
ada artinya jika ia harus hidup dalam teror yang terus-menerus dan kesepian
yang mengancam jiwanya. Ia merindukan hidupnya yang dulu, hidup sederhana di
kontrakan sempit, namun penuh cinta, tawa, dan ketenangan. Ia merindukan
kehangatan Budi yang dulu, yang selalu ada untuknya, tak peduli sesulit apapun
keadaan. Ia harus kembali ke sana, ke tempat di mana ia pernah merasa aman dan
dicintai.
Pagi itu, dengan
sisa-sisa tenaga yang terkuras habis dan segenap keberanian yang tersisa,
Kartika mengemas barang-barangnya. Tangannya gemetar saat memasukkan beberapa
helai pakaian seadanya ke dalam sebuah tas ransel lusuh. Ia tidak membawa
banyak, hanya pakaian yang cukup untuk beberapa hari dan beberapa kenangan masa
lalu yang tak ternilai harganya: sebuah foto pernikahan lama, gelang pemberian
Budi di awal pernikahan mereka, dan surat cinta pertama dari suaminya.
Barang-barang mewah di lemari, perhiasan berkilauan, semua ia tinggalkan. Semua
itu terasa hampa, tak bermakna lagi di tengah teror yang ia alami.
Ia meninggalkan
rumah mewah itu, rumah yang kini terasa seperti penjara baginya, sebuah sangkar
emas yang dipenuhi aura mencekam. Di atas nakas di samping ranjang, ia
meletakkan sepucuk surat yang ia tulis semalaman, dengan air mata yang tak
henti-hentinya menetes. Surat itu ditujukan untuk Budi, menjelaskan semua yang
ia alami: tentang teror pocong yang menghantuinya, tentang rasa kesepian yang
menggerogoti jiwanya di rumah besar itu, dan tentang keputusannya yang bulat
untuk pergi. Ia tidak tahu apakah Budi akan percaya pada ceritanya yang
terkesan tak masuk akal itu, namun ia tidak peduli lagi. Yang terpenting, ia
harus menyelamatkan jiwanya sendiri, mencari ketenangan yang sudah lama hilang.
Dengan langkah
gontai, Kartika melangkah keluar dari rumah itu. Ia tidak menoleh ke belakang.
Baginya, rumah itu kini adalah masa lalu yang menyakitkan, sebuah mimpi buruk
yang harus ia tinggalkan. Ia naik taksi, meminta diantarkan ke sebuah alamat
yang sudah lama tak ia kunjungi: rumah kontrakannya yang dulu, yang belum habis
masa kontrakannya, yang kini sudah ditinggalkan dan agak reyot.
Setibanya di
sana, rumah itu tampak kecil, sederhana, dengan cat yang mulai mengelupas dan
halaman yang sedikit berantakan. Namun, begitu ia melangkahkan kaki ke
dalamnya, sebuah kehangatan familiar menyelimuti dirinya. Meskipun sudah tidak
terawat, rumah itu terasa hangat, akrab, dan yang terpenting, aman
baginya. Ia merasakan damai yang luar biasa, meskipun bayangan teror semalam
masih membayangi. Di sinilah ia dan Budi memulai segalanya, dengan cinta yang tulus
dan kesederhanaan.
Beberapa hari
kemudian, saat Kartika sedang membersihkan rumah kontrakan itu, sebuah mobil
mewah berhenti di depan. Jantungnya berdesir. Budi. Ia keluar dari mobil,
wajahnya pucat pasi, matanya merah dan sembab, seperti orang yang tidak tidur
berhari-hari. Di tangannya, ia memegang surat Kartika yang sudah lecek.
Budi melangkah
mendekat, tatapannya penuh penyesalan dan kebingungan. "Kartika... apa
maksud semua ini?" tanya Budi, suaranya parau, hampir berbisik.
"Kamu... kamu serius tentang pocong itu? Ini bukan lelucon kan?"
Kartika menatap
suaminya, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. "Aku serius mas.
Sangat serius. Aku tidak bisa hidup di rumah itu lagi. Aku kesepian mas. Aku
kesepian. Aku merasa hampa di tengah semua kemewahan itu. Dan kesepianku itu,
entah bagaimana, menarik sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang ingin membawaku
pergi."
Dengan suara
bergetar, Kartika menceritakan semuanya, dari awal ia merasakan ranjangnya
bergerak, sentuhan dingin di betisnya, mimpi buruk di pemakaman, suara gerusan
di dinding, bau busuk dan melati yang terus menghantuinya, hingga puncak teror
saat tangan pocong itu menyeretnya dari kolong tempat tidur. Ia tidak
menyembunyikan detail apa pun, menceritakan kehampaan yang ia rasakan di tengah
kemewahan, dan bagaimana ia merindukan Budi yang dulu, Budi yang selalu ada di
sisinya.
Budi mendengarkan
dengan serius, wajahnya memucat seiring cerita Kartika. Air mata mulai mengalir
di pipinya, bukan lagi air mata kelelahan, melainkan air mata penyesalan yang
mendalam. Ia menjatuhkan surat Kartika ke tanah, lalu berlutut di hadapan
istrinya.
"Aku... aku
minta maaf Kartika," kata Budi, suaranya pecah, diiringi isak tangis.
"Aku terlalu sibuk mengejar dunia, mengejar jabatan, mengejar pengakuan,
sampai melupakanmu. Aku melupakanmu, istriku yang sudah menemaniku dari nol,
yang selalu ada di sisiku saat aku tidak punya apa-apa. Maafkan aku Sayang...
maafkan aku..."
Budi memeluk
Kartika erat-erat, memohon maaf berulang kali, mencium puncak kepala istrinya.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Kartika merasakan kehangatan yang
tulus dari suaminya, kehangatan yang sudah lama ia rindukan. Pelukan itu terasa
seperti obat, menenangkan badai di jiwanya.
Setelah beberapa
saat, Budi melepaskan pelukannya, menatap Kartika dengan mata merah, namun ada
tekad yang kuat di dalamnya. "Aku akan melepaskan jabatan itu Kartika. Aku
tidak peduli lagi dengan kekayaan dan jabatan. Aku tidak peduli lagi dengan apa
kata orang. Yang terpenting bagiku sekarang adalah kamu, dan kebahagiaan kita.
Kita akan mulai dari awal lagi Sayang. Kita akan membangun kebahagiaan yang
sejati."
Kartika menatap
suaminya, air mata haru mengalir di pipinya. Ia tahu, Budi akhirnya menyadari
kesalahannya. Ia tahu, ia telah mendapatkan Budi yang dulu kembali. Bukan Budi
si pejabat kaya, melainkan Budi suaminya yang sederhana, namun penuh cinta dan
perhatian.
Beberapa minggu
kemudian, Budi benar-benar mengundurkan diri dari jabatannya. Sebuah keputusan
yang mengejutkan banyak pihak, namun Budi tak peduli. Ia memulai usaha
kecil-kecilan, membuka toko kelontong di depan rumah kontrakan mereka. Mereka
kembali hidup sederhana, namun kebahagiaan mengisi setiap sudut rumah kecil
itu. Rumah mewah yang penuh teror itu dijual. Tidak ada yang tahu persis apa yang
terjadi di sana, namun banyak pembeli yang datang merasa tidak nyaman dengan
aura rumah itu, dengan hawa dingin dan bau melati yang samar. Pada akhirnya,
tidak ada yang mau membeli. Rumah itu kini kosong, terbengkalai, menjadi saksi
bisu kesepian seorang istri pejabat dan teror yang ditimbulkannya.
Kartika dan Budi
kembali hidup bahagia dalam kesederhanaan. Meskipun mereka belum juga
dikaruniai anak, mereka tidak lagi merasa kesepian. Cinta dan perhatian Budi
yang dulu kembali, mengisi setiap sudut hati Kartika, menumbuhkan lagi
harapannya. Mereka belajar untuk bersyukur dengan apa yang mereka miliki, dan
menghargai setiap momen kebersamaan.
Kadang-kadang, di
malam hari yang dingin, Kartika akan merasakan sedikit hawa dingin yang menusuk
dan mencium samar-samar aroma melati yang mistis. Ia tahu, itu adalah pengingat
dari "mereka", dari pocong yang pernah menyeretnya. Ia tahu, kesepian
yang mendalam, terutama di tengah kemewahan yang hampa, bisa menjadi pintu bagi
hal-hal yang tak terlihat, menarik entitas dari alam lain. Ia belajar, bahwa
kebahagiaan sejati bukanlah tentang kekayaan atau kemewahan materi, melainkan
tentang ketenangan jiwa, keikhlasan hati, dan kehadiran orang-orang yang kita
cintai di sisi kita. Dan ia bersyukur, ia telah berhasil melepaskan diri dari
teror itu, dan yang paling penting, mendapatkan suaminya kembali seutuhnya.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar