#46 RUMAH TETANGGA (YANG HOROR)



RUMAH TETANGGA (YANG HOROR).

Prolog: Belitan Kemiskinan

Di antara gubuk-gubuk reot yang berjejer tak beraturan di pinggiran kampung, berdirilah sebuah rumah mewah bak istana, menjulang angkuh menembus langit senja. Dindingnya yang megah, pagar besinya yang menjulang tinggi, dan taman luasnya yang terawat, seolah menjadi penanda jelas jurang pemisah antara kemewahan dan kemelaratan. Pemiliknya, Pak Harso, adalah juragan tanah yang kekayaannya tak terhitung, namanya selalu disebut-sebut dengan nada kagum, atau kadang, iri.

Tepat di samping kemegahan itu, tersembunyi sebuah gubuk reyot berdinding bilik bambu yang mulai lapuk. Di sanalah tinggal keluarga Rahmat, seorang tukang ojek yang hidupnya jauh dari kata cukup. Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya terbit, Rahmat sudah menarik gas motor tuanya, membelah jalanan kampung yang masih sepi. Dari subuh hingga larut malam, ia berjuang mencari nafkah, mengantar penumpang ke pasar, ke sekolah, atau ke terminal, apa pun demi sesuap nasi untuk keluarga kecilnya.

"Hati-hati, Pak," pesan Sumi, istrinya, setiap kali Rahmat hendak berangkat. Wajah Sumi yang tirus, dengan perutnya yang membuncit karena hamil muda, selalu menjadi pemandangan yang mengharu biru hati Rahmat. "Jangan lupa makan, ya."

"Pasti, Mi," jawab Rahmat, berusaha tersenyum. "Kamu juga, jaga diri baik-baik di rumah. Jangan terlalu capek."

Sore itu, saat Rahmat kembali ke gubuknya, ia mendapati Sumi sedang termenung di depan tungku, pandangannya kosong. Budi, putra semata wayang mereka, tengah asyik menggambar di lantai dengan arang, namun Rahmat tahu, di balik keceriaan itu, ada keinginan-keinginan kecil yang belum bisa ia penuhi.

"Kenapa melamun, Mi?" tanya Rahmat lembut, duduk di samping istrinya.

Sumi menghela napas panjang. "Ini, Pak... uangnya masih kurang untuk periksa kandungan bulan depan. Kata bidan, harus rutin diperiksa, takut ada apa-apa." Tangannya mengusap perutnya yang membesar, sorot matanya menyimpan kekhawatiran yang mendalam.

Hati Rahmat mencelos. Biaya periksa kandungan Sumi kian melilit, sementara uang tabungan mereka tak seberapa, bahkan bisa dibilang nyaris tak ada. Uang hasil ngojek hari ini pun hanya cukup untuk makan malam dan sedikit sisa untuk esok pagi.

"Besok Bapak cari tambahan lagi, ya," ujar Rahmat, mencoba menenangkan. Namun ia sendiri tahu, janji itu seringkali sulit terpenuhi. Persaingan antar tukang ojek semakin ketat, penghasilan pun tak menentu.

Tak lama kemudian, Budi menghampiri mereka, wajahnya tampak murung. "Pak, kata teman-teman, seragam sekolah mereka sudah pada baru. Katanya juga ada buku pelajaran baru, gambar-gambarnya bagus." Budi menunduk, memainkan ujung kaosnya yang mulai lusuh.

Tatapan sendu Budi saat teman-temannya bercerita tentang seragam baru atau buku-buku pelajaran yang lengkap, seringkali membuat air mata Rahmat menetes dalam diam, terutama saat ia melihatnya tertidur pulas dengan kaos kumal. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, namun tangan-tangan ini seolah terikat erat oleh belitan kemiskinan. Pikirannya kalut. Kemiskinan seolah belenggu yang mengikat erat, mencekik harapan, dan membuat hati Rahmat perih. Desir angin malam yang dingin seolah ikut menyayat hatinya, menambahkan beban di pundaknya yang sudah terlampau berat.

Bab 1: Godaan Rumah Kosong

Suatu sore yang terik, mentari bersinar garang di atas kampung, membakar ubun-ubun dan mengeringkan tenggorokan. Rahmat baru saja pulang dari narik ojek, tubuhnya lengket oleh keringat dan lelah yang menusuk tulang. Ia duduk di teras gubuknya, menyeka peluh di dahi dengan punggung tangan. Tiba-tiba, suara-suara bisikan tetangga mulai menyusup ke telinganya.

"Eh, tahu tidak? Pak Harso pergi ke luar kota, lho!" kata Bu Tejo, tetangga di sebelah.

"Masa? Ke mana?" sahut Bu RT, yang sedang menyiram tanaman di pekarangannya.

"Katanya sih ke Singapura, mendadak sekali. Beberapa hari di sana," jawab Bu Tejo lagi, suaranya sedikit merendah seolah bercerita rahasia penting. "Rumahnya jadi kosong melompong. Tak ada siapa-siapa di sana, sopirnya pulang kampung, pembantunya juga diliburkan."

Kabar itu, bak bisikan setan di telinga Rahmat, langsung menyambar dan menancap di benaknya. Ia mendongak, menatap ke arah rumah mewah Pak Harso yang menjulang angkuh di samping gubuknya. Biasanya, rumah itu selalu ramai dengan aktivitas, suara mobil mewah mondar-mandir, tawa para asisten rumah tangga, atau sesekali anjing peliharaan Pak Harso yang menggonggong riang. Kini, rumah itu sunyi senyap, bagai kuburan di siang hari bolong. Tirai-tirai tertutup rapat, gerbang utamanya terkunci rapat, dan tak ada satu pun lampu yang menyala di teras.

Sebuah ide gila yang sebelumnya tak pernah berani ia bayangkan, kini melintas dengan begitu jelas di kepalanya: mencuri. Jantungnya berdebar tak karuan, seolah ingin melompat keluar dari dadanya.

"Mencuri?" gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Ia langsung mengernyitkan dahi, mencoba mengusir pikiran terkutuk itu. "Tidak, tidak mungkin."

Namun, gambaran Sumi yang pucat pasi karena biaya periksa kandungan, dan wajah Budi yang sendu saat melihat teman-temannya dengan seragam baru, kembali berkelebat di benaknya. Pikiran tentang perhiasan yang mungkin berserakan di kamar Pak Harso, tentang uang tunai yang bisa menutupi segala kebutuhan mendesak keluarganya, mulai menguasai benaknya dengan kejam. Ia tahu, Pak Harso punya banyak perhiasan emas dan uang yang tak terpakai, hanya tersimpan di kamar tidur utama. Uang itu, jika ia berhasil mendapatkannya, bisa membayar semua tunggakan sekolah Budi, menebus obat Sumi, dan bahkan sisa untuk makan beberapa bulan ke depan.

Rasa takut akan dosa, takut akan karma, dan bahaya jika tertangkap, sejenak kalah oleh desakan ekonomi yang kian menghimpit. "Hanya kali ini saja," bisiknya pada diri sendiri, suaranya parau, seolah berusaha meyakinkan hatinya yang bergejolak. "Ini demi anak istriku. Demi mereka bisa makan, demi Budi bisa sekolah, demi Sumi bisa sehat. Setelah ini, aku bersumpah tidak akan pernah melakukannya lagi."

Malam itu, saat rembulan menggantung separuh di langit, Rahmat terus memandangi rumah megah Pak Harso. Kegelapan dan kesunyian rumah itu, entah mengapa, terasa seperti sebuah undangan, sebuah godaan yang sulit ditolak bagi hati yang sedang putus asa.

Bab 2: Langkah Menuju Angkara

Malam harinya, setelah rembulan naik tinggi dan memastikan Sumi dan Budi terlelap dalam buaian mimpi, Rahmat menyelinap keluar dari gubuknya. Setiap langkahnya terasa berat, seolah memikul beban bergunung-gunung. Kegelapan malam menjadi selimut yang sempurna untuk niatnya yang terlarang, menyembunyikan siluet tubuhnya yang gemetar.

Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya seolah ingin keluar dari sangkarnya. Setiap derit bambu gubuknya, setiap desir angin yang menerpa daun-daun, seolah menjadi detak jam pengingat akan keputusan nekatnya. Keringat dingin membasahi pelipisnya, mengalir di wajahnya, meskipun udara malam cukup sejuk dan lembab. Ia bahkan bisa merasakan napasnya sendiri memburu, menciptakan kabut tipis di udara malam yang dingin.

"Ini salah," bisik hatinya, sebuah suara kecil yang mencoba menentang. "Tapi bagaimana lagi?" jawab suara lain yang lebih kuat, suara keputusasaan.

Dengan langkah hati-hati, ia mendekati pagar tinggi rumah Pak Harso. Dindingnya yang kokoh dan gerbangnya yang menjulang, dengan ukiran-ukiran rumit dan lampu-lampu taman yang kini padam, seolah menertawakan keberaniannya yang nekat. Rahmat menelusuri pagar itu, mencari celah, lubang kecil, atau apa pun yang bisa ia masuki. Matanya menjelajahi setiap sudut, berharap menemukan titik lemah di balik kemewahan yang mengintimidasi itu.

Setelah beberapa kali mencoba, menyusuri tembok batu yang dingin, akhirnya ia menemukan celah di antara semak-semak rimbun yang tumbuh di sudut pagar. Sebuah titik lemah yang tersembunyi, seolah sengaja menanti kehadirannya. Ia menarik napas dalam, memantapkan tekad, dan mulai merangkak masuk. Duri-duri semak menusuk kulitnya, menggores lengan dan kakinya, namun rasa sakit itu tak seberapa dibanding perihnya kemiskinan yang menggerogoti jiwanya. Ia membayangkan senyum Sumi dan Budi jika ia berhasil membawa pulang sesuatu.

Ia berhasil masuk ke dalam halaman rumah. Gelap gulita menyelimuti segalanya, hanya diterangi samar-samar cahaya bulan yang tertutup awan, menciptakan bayangan-bayangan menari yang menipu mata. Pepohonan besar di halaman seolah menjadi siluet monster yang mengawasi. Aura dingin menusuk tulang, seolah rumah itu menyimpan rahasia kelam, lebih dari sekadar kekosongan biasa. Sebuah keheningan yang mencekam, seolah tak ada kehidupan di sana.

Rahmat bergegas menuju jendela belakang yang menurutnya paling memungkinkan untuk dibuka, jauh dari pandangan jalan. Ia sudah mengamati rumah ini selama berminggu-minggu, tahu seluk-beluknya, tahu ke mana harus menuju. Dengan sebilah obeng yang ia bawa dari rumah, ia mulai mencongkel jendela. Tangannya gemetar hebat, bukan hanya karena takut ketahuan, tapi juga karena ada perasaan aneh yang mulai merayapinya. Bulu kuduknya meremang. Rasanya seperti ada mata tak terlihat yang sedang mengawasinya dari dalam kegelapan rumah itu.

"Ayolah, sedikit lagi," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba membuang pikiran-pikiran ganjil itu. Ia memaksakan fokusnya pada suara berderit dari engsel jendela yang mulai menyerah. "Demi anak istriku..."

Bab 3: Teror dari Gelap

Jendela berhasil terbuka dengan suara derit pelan. Rahmat menyelinap masuk ke dalam rumah, disambut kegelapan yang pekat dan bau apak yang aneh, seperti bau tanah basah bercampur aroma kematian yang tertahan. Udara di dalamnya terasa begitu berat, seolah setiap sudut menyimpan rahasia kelam.

Ia segera menyalakan senter kecilnya, sinarnya yang lemah menari-nari di dinding-dinding mewah yang kini diselimuti debu tebal. Lukisan-lukisan mahal tergantung miring, vas bunga kristal yang seharusnya berkilauan kini kusam, dan perabotan yang tertutup kain putih tampak seperti bentuk-bentuk aneh dalam remang. Matanya mencari-cari kamar tidur utama, tempat perhiasan Pak Harso diyakini berada, tempat harta benda yang akan membebaskannya dari belenggu kemiskinan.

Saat ia melangkah perlahan melewati ruang tamu yang luas, langkah kakinya memecah kesunyian yang mencekam. Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam besar melintas di sudut matanya, sangat cepat, nyaris tak terlihat. Rahmat terkesiap, jantungnya serasa berhenti berdetak. Napasnya tertahan di kerongkongan. Ia buru-buru mengarahkan senternya ke arah bayangan itu, namun tak ada apa-apa. Hanya dinding kosong yang berdebu.

"Hanya perasaanku saja," gumamnya lirih, mencoba menenangkan diri, mencoba meyakinkan otaknya bahwa kelelahan dan ketegangan sedang bermain-main dengan pikirannya. "Pasti cuma bayangan dari cahaya senter."

Namun, perasaan itu tak hilang. Malah, ia semakin kuat. Udara di sekelilingnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang, seolah ada napas dingin yang berembus di tengkuknya. Rahmat merinding, bulu kuduknya berdiri. Sebuah firasat buruk merayapi benaknya, firasat yang jauh lebih menakutkan daripada sekadar tertangkap basah mencuri.

Tiba-tiba, terdengar suara geraman rendah, berat, dan mengerikan, menggema di dalam rumah yang sepi. Suara itu bukan suara manusia, bukan pula suara binatang yang ia kenali. Itu adalah suara yang membekukan darah, membuat napas Rahmat tercekat di dada. Tenggorokannya kering, seluruh tubuhnya menegang.

Dari kegelapan di depannya, di balik bayangan pilar ruang tengah, perlahan-lahan muncul sesosok tubuh tinggi besar, menjulang hingga nyaris menyentuh langit-langit. Tubuhnya berbulu lebat, hitam kelam, seolah terbuat dari malam itu sendiri. Mata merah menyala tajam, memancarkan aura kegelapan yang menakutkan. Wajahnya menyeramkan, dengan taringnya yang panjang dan tajam mencuat dari mulutnya yang menganga sedikit, dan kuku-kukunya yang runcing seperti cakar binatang buas.

Sosok itu, dengan wujudnya yang mengerikan, adalah Genderuwo, makhluk halus penjaga rumah yang terkenal bengis dan kuat. Rahmat tak bisa bergerak. Tubuhnya kaku, otaknya memerintahkan kakinya untuk berlari, namun kakinya seolah terpaku di lantai. Ia hanya bisa menatap Genderuwo itu dengan tatapan kosong penuh ketakutan. Senter di tangannya jatuh, berguling di lantai marmer, cahayanya berkedip-kedip tak beraturan, menciptakan efek bayangan yang menari-nari, menambah kesan seram pada pemandangan di depannya.

Genderuwo itu melangkah mendekat, perlahan namun pasti, setiap langkahnya terasa seperti dentuman di dada Rahmat. Ia mengeluarkan suara geraman yang semakin keras, seperti guntur yang bergulir di dalam ruangan, seolah menikmati ketakutan yang terpancar dari Rahmat. Bau busuk yang menyengat, seperti bangkai yang membusuk, menyeruak, membuat Rahmat mual dan ingin muntah.

"Tidak... tidak mungkin..." bisiknya, namun suaranya nyaris tak terdengar.

Ia tahu, ia telah masuk ke dalam sarang iblis. Ia tak tahu, bahwa Pak Harso sendiri telah melarikan diri dari rumah ini beberapa waktu lalu, dihantui dan diteror oleh Genderuwo ini. Dan kini, secara tragis, Rahmat-lah yang telah mendatangi teror itu, dan gantian menjadi sasaran barunya. Kaki-kaki Genderuwo itu semakin dekat, dan Rahmat bisa merasakan hawa dingin yang memancar darinya, hawa dingin yang siap mencengkeramnya.

Bab 4: Kutukan yang Mengikuti

Rahmat menjerit sekuat tenaga, namun suaranya tercekat di tenggorokan, hanya menyisakan desisan lemah. Ia berusaha berlari, menggerakkan kakinya sekuat tenaga, namun kakinya seolah tak mau bergerak, terpaku erat di lantai marmer yang dingin. Genderuwo itu dengan santai mengulurkan tangan berbulu panjangnya, dengan kuku-kuku runcing yang tampak mengerikan. Cengkeraman kuat mendarat di bahu Rahmat. Seketika, rasa dingin dan nyeri menjalari seluruh tubuhnya, seolah ada es yang membakar di dalam pembuluh darahnya.

"Lepaskan aku! Lepaskan!" teriak Rahmat histeris, suaranya parau dan penuh keputusasaan. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia sekuat tenaga meronta, mengayunkan tangannya, memutar tubuhnya, memohon agar cengkeraman Genderuwo itu terlepas. Ia merasakan cakar-cakar tajam itu menggerus kulit bahunya, namun rasa sakit fisik itu tak seberapa dibanding ketakutan yang mencekiknya. Akhirnya, dengan sebuah sentakan keras, cengkeraman Genderuwo itu terlepas, melempar Rahmat mundur beberapa langkah.

Tanpa menoleh sedikit pun, tanpa berani melihat kembali ke sosok mengerikan di belakangnya, Rahmat berlari kalang kabut keluar dari rumah mewah itu. Ia melompati ambang jendela yang tadi ia congkel, tak peduli pada luka goresan atau rasa sakit. Ia terus berlari, melompati pagar tinggi dengan tenaga yang entah datang dari mana, dan terus berlari tanpa henti menuju gubuknya. Napasnya terengah-engah, paru-parunya serasa terbakar, dan setiap embusan napas adalah jeritan ketakutan. Ia tak peduli lagi dengan perhiasan atau uang yang tadinya ia incar. Yang ia inginkan hanyalah keselamatan, kembali ke pelukan istri dan anaknya.

Ia menerobos pintu gubuknya yang reot, membantingnya menutup rapat-rapat dan menguncinya dari dalam, seolah pintu bambu tipis itu mampu menahan kengerian yang baru saja ia alami. Sumi dan Budi yang terbangun karena suara ribut, menatapnya dengan heran.

"Ada apa, Pak? Kenapa Bapak terengah-engah begitu?" tanya Sumi khawatir, melihat suaminya gemetar hebat. Budi kecil memandang ayahnya dengan mata lebar, sedikit takut melihat wajah Rahmat yang pucat pasi dan berkeringat dingin.

Rahmat hanya bisa terisak, memeluk erat Sumi dan Budi secara bersamaan. Ia tak sanggup berucap sepatah kata pun. Lidahnya kelu. Ia tak berani menceritakan apa yang baru saja dialaminya, takut mereka juga ikut ketakutan, takut kengerian itu akan merasuki mimpi-mimpi mereka. Ia hanya membenamkan wajahnya di bahu Sumi, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih memburu.

Namun, teror itu tak berhenti di rumah mewah. Malam-malam berikutnya, Rahmat mulai merasakan kehadiran Genderuwo itu di sekitar gubuknya. Awalnya hanya samar-samar, seperti hembusan angin dingin yang tak wajar. Kemudian, suara geraman rendah yang persis sama dengan yang ia dengar di rumah mewah itu, sering terdengar di luar jendela gubuk mereka, terutama saat dini hari.

"Pak, dengar suara apa itu?" tanya Sumi suatu malam, terbangun karena suara geraman. Rahmat hanya diam, berpura-pura tidak mendengar, namun seluruh tubuhnya tegang.

Kadang, bayangan besar melintas di kegelapan luar jendela, seolah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik pepohonan. Dan yang paling mengerikan, bau busuk yang menyengat, bau apak bercampur amis, kerap tercium di sekitar gubuk, terutama di malam hari. Rahmat sering terbangun di tengah malam dengan keringat dingin, merasakan kehadiran makhluk itu, seolah ada mata tak terlihat yang mengawasinya dari balik kegelapan. Ia tahu, Genderuwo itu sedang mengincarnya.

Sumi dan Budi mulai merasakan keanehan pada Rahmat. Ia sering melamun, pandangannya kosong. Ia menjadi mudah ketakutan bahkan oleh suara-suara kecil, dan nafsu makannya menurun drastis. Wajahnya kian tirus, matanya cekung.

Bahkan, suatu malam yang mencekam, Budi menangis ketakutan dan berlari menghampiri Rahmat. "Bapak! Bapak! Ada bayangan hitam besar di jendela! Matanya merah, Pak!" teriak Budi sambil terisak-isak, memeluk erat ayahnya.

Rahmat tercekat. Genderuwo itu kini mengikuti Rahmat, mengganggunya, mengklaimnya sebagai mangsa baru, seolah takkan berhenti sampai Rahmat benar-benar tak berdaya. Kutukan telah mengikutinya pulang, membawa teror yang tak berkesudahan ke dalam kehidupan sederhana keluarganya.

Epilog: Penyesalan yang Terlambat

Kondisi Rahmat kian hari kian memburuk. Tubuhnya semakin kurus, matanya cekung, dan ia sering kali bicara melantur di tengah malam, menyebut-nyebut bayangan hitam dan geraman mengerikan. Sumi tak sanggup lagi melihat suaminya dihantui ketakutan. Dengan hati berdebar, Rahmat akhirnya memberanikan diri menceritakan semuanya kepada Sumi, dari niatnya mencuri hingga pertemuannya dengan Genderuwo yang kini terus mengikutinya.

Awalnya, Sumi dilanda amarah dan ketakutan yang hebat. "Ya Allah, Pak! Kenapa Bapak nekat begitu? Kenapa tidak bilang kalau kita sesusah ini?" serunya dengan suara bergetar, air mata menetes membasahi pipi. Namun, melihat suaminya yang terpuruk, tubuhnya gemetar dan wajahnya dipenuhi penyesalan, amarah itu perlahan berubah menjadi iba. "Sekarang bagaimana, Pak? Budi bahkan sudah mulai ketakutan."

Mereka berdua terdiam, terbelenggu rasa putus asa. Akhirnya, Sumi berbisik, "Kita harus cari bantuan, Pak. Mungkin sesepuh kampung bisa menolong." Rahmat mengangguk lemah. Itu satu-satunya harapan mereka.

Pagi harinya, dengan langkah gontai, Rahmat dan Sumi mendatangi rumah sesepuh kampung yang dihormati, seorang lelaki tua bijaksana bernama Ki Lurah. Setelah mendengarkan seluruh cerita Rahmat dengan seksama, Ki Lurah menghela napas panjang.

"Apa yang kamu alami itu memang benar, Nak Rahmat," kata Ki Lurah dengan suara berat. "Rumah Pak Harso itu memang sudah lama angker, ada Genderuwo penunggu di sana. Mungkin karena kesibukanmu dan istrimu bekerja menjadi tidak tahu informasi itu. Bukan hanya kamu yang pernah diteror. Pak Harso sendiri pun kabur karena tak tahan diganggu makhluk itu. Dan karena kamu sudah lancang masuk ke wilayahnya dengan niat yang tidak baik, dia merasa terusik, dan kini kamu menjadi sasarannya."

Rahmat menunduk, malu dan takut. "Maafkan saya, Ki Lurah. Saya khilaf."

Ki Lurah menatap Rahmat dengan sorot mata penuh pengertian. "Kesalahan memang bisa terjadi, Nak. Yang penting adalah pelajaran darinya."

Maka dimulailah upaya untuk mengusir makhluk jahat itu. Ki Lurah melakukan berbagai ritual, memanjatkan doa-doa dan japa mantra, bahkan memberikan Rahmat beberapa azimat dan air doa untuk diminum dan disiramkan di sekeliling gubuk. Setiap malam, Rahmat dan Sumi tak henti-hentinya berdoa, memohon perlindungan dari Tuhan.

Perlahan tapi pasti, teror Genderuwo itu mereda. Suara geraman tak lagi terdengar, bayangan hitam tak lagi melintas, dan bau busuk itu pun menghilang. Rahmat bisa tidur lebih nyenyak, meskipun kadang masih terbangun dengan perasaan cemas. Namun, kejadian itu meninggalkan bekas luka yang dalam di hati Rahmat. Ia tak lagi berani mendekati rumah mewah itu, bahkan sekadar meliriknya pun ia tak sanggup. Setiap kali pandangannya tak sengaja mengarah ke sana, ia merasakan hawa dingin dan kengerian yang kembali merayap.

Ia sadar sepenuhnya, kemiskinan bukanlah alasan untuk berbuat dosa. Harta benda yang didapat dengan cara haram, ia kini tahu, hanya akan membawa malapetaka yang lebih besar daripada kemiskinan itu sendiri. Teror yang ia alami jauh lebih mengerikan daripada lapar yang ia rasakan.

Rahmat belajar dari kesalahannya. Ia tetap menjadi tukang ojek, namun kini ia bekerja lebih giat, tanpa pernah tergoda lagi untuk mencari jalan pintas. Ia menjadi lebih jujur dalam setiap pekerjaannya, dan yang terpenting, ia selalu bersyukur atas apa pun yang ia miliki.

"Syukurlah kita masih bisa makan hari ini, Mi," ujarnya suatu malam, menatap Sumi dan Budi yang tersenyum di sampingnya. "Biarlah hidup sederhana, asalkan hati tenang dan tidak diganggu hantu."

Meskipun hidupnya tetap sederhana, namun ketenangan dan kebahagiaan kini menghiasi gubuk kecilnya. Teror Genderuwo telah menjadi pengingat pahit, sebuah pelajaran berharga yang takkan pernah ia lupakan, bahwa keserakahan dan pelanggaran batas hanya akan mendatangkan kutukan yang tak terduga. Ia kini hidup dengan damai, meskipun bayangan Genderuwo sesekali masih muncul dalam mimpinya, menjadi pengingat abadi akan malam mengerikan di rumah mewah itu.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG