#44 MATA KETIGA DI LANGIT-LANGIT
Mata Ketiga di Langit-langit.
Hujan turun tipis malam itu, membasahi aspal jalanan yang tampak licin dan mengilap seperti kaca hitam. Lampu-lampu jalan menyala redup, beberapa bahkan berkedip lemah seolah kehabisan tenaga. Jam digital di dasbor mobil menunjukkan pukul 23:48.
Seorang pria
duduk di belakang kemudi—rambut sedikit basah karena gerimis, dasi
dilonggarkan, dan wajah lelah menatap jalan. Namanya Dimas. Pegawai bank swasta
yang hampir setiap malam pulang larut karena tumpukan laporan akhir bulan yang
tak pernah memberi ampun.
Dimas menguap
lebar, lalu mempercepat sedikit laju mobilnya. Hanya ingin segera tiba di rumah
kontrakan sederhana yang ia sewa di pinggir kota. Jalanan mulai sepi. Hanya ada
suara mesin mobilnya dan gesekan wiper yang terus mengusap kaca depan.
Hingga…
BRUK!
Mobilnya mendadak
menghantam sesuatu. Cukup keras. Mobil berguncang sejenak.
Dimas menginjak
rem, jantungnya berdegup cepat. Ia menoleh ke spion. Tak ada apa-apa.
Ia ragu. Menengok
ke jalanan lagi. Tetap kosong.
Tak ada hewan.
Tak ada manusia.
Tak ada bekas
darah. Tak ada kerusakan di mobilnya saat ia turun dan mengecek cepat-cepat di
bawah cahaya lampu jalan.
Namun… di bagian
bumper depan, terlihat bekas tangan kecil, basah, seperti menempel dari
sisi luar—seolah seseorang memegang mobilnya sebelum ditabrak.
Tangan itu… tidak
biasa. Jemarinya terlalu panjang. Ujungnya terlalu runcing.
Dimas menelan
ludah. “Hanya... lumpur,” katanya pada diri sendiri.
Ia buru-buru
masuk mobil dan melanjutkan perjalanan.
Di kaca belakang,
samar, air hujan mulai membentuk pola yang… nyaris menyerupai wajah.
Jam
menunjukkan 00:27 saat Dimas membuka pintu rumah kontrakannya.
Sebuah rumah mungil, hanya terdiri dari ruang tamu kecil, kamar tidur, kamar
mandi, dan dapur seadanya. Gelap dan hening, hanya suara detik jam dinding yang
terdengar samar, seperti ketukan halus dari tempat yang jauh.
Dengan tubuh lelah dan kepala sedikit pening, Dimas langsung
menuju kamar mandi. Ia ingin air hangat. Ingin menghilangkan bau kantor,
keringat, dan… kecemasan yang aneh sejak tabrakan tadi.
Shower dinyalakan. Uap hangat segera memenuhi ruangan kecil itu.
Dimas memejamkan mata, membiarkan air mengalir membasahi rambut dan wajahnya.
Beberapa detik berlalu dalam diam. Rasa penat mulai luruh sedikit demi sedikit.
Tapi
saat ia membuka mata…
Sesuatu
sedang menggantung di atap kamar mandi.
Sosoknya hitam kelam, tubuhnya kurus seperti ranting, tangan dan
kakinya menempel di langit-langit seperti laba-laba manusia. Rambutnya panjang
menjuntai ke bawah, dan wajahnya…
Wajahnya tidak punya mata. Hanya
lubang kosong besar di tengah.
Dimas membeku. Ia tak bisa
bergerak. Tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena teror murni yang merayap dari ujung tulang
belakang.
Sosok itu tersenyum—senyum
lebar, seperti robekan.
Dengan refleks, Dimas memejamkan mata erat-erat. Napasnya memburu. Detak
jantungnya berlomba dengan detik jam di luar.
Beberapa detik. Atau menit. Ia tak
tahu.
Lalu… ia membuka mata perlahan.
Kosong.
Shower masih menyala. Uap masih
menggantung. Tapi sosok itu sudah tak ada.
Dimas segera mematikan air,
membungkus tubuhnya dengan handuk, dan keluar kamar mandi tergesa. Ia bahkan
tak sempat mengeringkan rambutnya.
Di luar kamar mandi, suasana rumah
terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Dan malam belum selesai
menyambutnya.
Dimas
mengenakan kaus longgar dan celana pendek, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
Jam sudah menunjukkan 01:08.
Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup—ia belum cukup berani untuk tidur
dalam gelap setelah kejadian di kamar mandi tadi.
Hidungnya masih bisa mencium samar bau air hangat, sabun, dan…
sesuatu yang seperti debu basah dan besi berkarat.
Dimas berbaring menatap langit-langit. Ia mencoba meyakinkan diri:
“Mungkin cuma halusinasi. Mungkin karena capek. Mungkin karena
kecelakaan tadi.”
Kalimat yang terus diputar dalam pikirannya seperti mantra pengusir rasa takut.
Tapi rasa kantuk tak juga datang. Matanya tetap terbuka, menatap
kosong ke atas—hingga akhirnya ia sadar.
Ada
yang bergerak di atas lemari.
Sudut matanya menangkap sesuatu yang
merangkak pelan dari pojokan kamar, di atas lemari pakaian yang
menempel ke dinding. Ia menoleh pelan…
Dan di sanalah sosok itu.
Sama seperti yang tadi ia lihat di kamar mandi. Merayap perlahan
di langit-langit kamar, tubuhnya menempel terbalik seperti cicak raksasa,
lehernya tertekuk tidak wajar, dan wajahnya masih… masih
tanpa mata.
Hanya mulut itu—mulut lebar penuh
gigi gelap—yang tampak jelas. Terbuka seolah ingin menelan cahaya kamar.
Dimas mengerjap
keras. Lalu tanpa berpikir, ia menarik
selimut tebal dan menutup seluruh tubuhnya. Hanya napasnya yang
tersisa, memburu dalam ruang gelap dan pengap di bawah kain.
“Bukan nyata… bukan nyata…”
gumamnya berulang-ulang.
Beberapa menit. Sunyi. Bahkan
detak jam terasa berhenti.
Dengan gemetar, Dimas membuka
sedikit selimut. Matanya menelusuri langit-langit.
Kosong.
Lemari, plafon, cahaya lampu
redup—semuanya seperti semula. Tapi tubuhnya tetap berkeringat dingin, dan rasa
takut itu masih menggantung seperti asap di udara.
Ia melirik jam. Sudah pukul 02:37.
Dimas tetap terjaga. Tak berani
memejamkan mata terlalu lama. Hingga akhirnya, sekitar jam 03:15, rasa kantuk yang terlalu berat menariknya
perlahan ke dalam tidur.
Namun, bahkan dalam tidur… Dimas
tahu, ia tidak sendiri.
Pukul 07:10. Jam
weker yang biasanya selalu berhasil membangunkan Dimas, hari ini tak cukup
keras melawan tubuh yang kelelahan.
Ia terbangun
dengan kepala berat, mata bengkak, dan mulut kering. Sejenak ia tak sadar di
mana dirinya. Lalu semua kembali perlahan—mandi semalam, sosok di
langit-langit, suara napas sendiri yang menggema di balik selimut.
Ia duduk di
pinggir ranjang. Sinar pagi menyelinap dari sela-sela jendela. Terlalu terang,
terlalu damai, terlalu bertolak belakang dengan malam yang baru saja ia alami.
“Cuma mimpi.
Mungkin semalam aku cuma... terlalu lelah.”
Itu pikirnya,
mencoba kembali berdiri di antara logika dan kenyataan. Tapi saat ia berjalan
ke kamar mandi untuk sekadar membasuh wajah, ia melihat sesuatu di lantai dekat
pintu.
Jejak
kaki.
Kecil, seperti milik anak kecil... tapi panjang. Dan basah.
Dimas mundur.
Jantungnya mulai berdetak lebih kencang. Ia mengalihkan pandangan, menepis rasa
tak nyaman itu, lalu bersiap cepat-cepat berangkat ke kantor.
Di perjalanan
menuju kantor, Dimas lebih banyak diam. Suara radio di mobil terdengar seperti
bisikan jauh. Mobil-mobil lain melaju cepat, tetapi dunianya terasa lambat.
Setiap bayangan pohon di trotoar seolah menyimpan sesuatu. Setiap pantulan kaca
spion seperti memperlihatkan bentuk samar di belakang jok.
Ia mencoba fokus
bekerja hari itu. Tapi lelah dan rasa gelisah terus menghantuinya. Rekan-rekan
kantor pun memperhatikan matanya yang cekung dan wajahnya yang pucat.
“Kamu sakit Dim?”
tanya salah satu rekan kerja saat jam makan siang.
Dimas hanya
menggeleng pelan.
“Cuma... kurang
tidur,” jawabnya singkat.
Padahal, yang ia
rasakan jauh lebih dari sekadar insomnia. Sejak malam itu, Dimas tahu: rumah
kontrakannya tidak lagi kosong. Sesuatu telah tinggal bersamanya. Sesuatu
yang tidak diundang… dan belum ingin pergi.
Dan hari itu,
saat pulang kerja, ia tahu malam akan kembali membawa mimpi buruk yang sama—atau
lebih buruk lagi.
Malam
datang terlalu cepat. Langit di luar gelap pekat, awan menggantung rendah,
seperti menindih atap-atap rumah.
Dimas tiba di rumah kontrakan pukul delapan lebih sedikit. Hujan
gerimis turun sejak sore, dan sisa air masih menetes dari ujung genting. Ia
membuka pintu perlahan, seperti berharap sesuatu akan menyambutnya dari balik
gelap ruang tengah.
Tapi rumah itu tetap senyap. Hanya suara tetesan air dari wastafel
dan dengungan kipas angin tua di dapur.
Dimas melepas sepatu, mengganti baju, lalu menyalakan TV sekadar
memberi suasana. Ia duduk lama di sofa tanpa benar-benar menonton. Matanya
kosong menatap layar, pikirannya entah di mana.
“Jangan mandi malam ini…”
“Jangan lihat ke atas.”
“Jangan sendiri…”
Suara-suara dari dalam dirinya sendiri terus berbisik. Tapi malam
itu, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menunggu rasa kantuk—atau
kelelahan—membawanya kembali tertidur.
Pukul 11 lewat, ia masuk ke kamar. Ia memandangi langit-langit
kamar selama beberapa menit, seolah menantang sesuatu yang mungkin muncul. Tapi
tidak ada.
Lalu ia rebah di ranjang. Menarik
selimut setinggi dada. TV masih menyala dari ruang tengah, membentuk cahaya
samar yang memantul di kaca jendela.
Dan saat itulah ia kembali
melihatnya.
Sepasang
mata.
Mengintip dari celah eternit di langit-langit kamar, di antara
kisi-kisi kayu yang sedikit terbuka.
Mata
itu tidak bergerak. Hanya menatap. Tanpa berkedip.
Dimas tak bisa berpaling. Tubuhnya
kaku. Matanya panas, seperti disetrum rasa takut yang menggerogoti dari dalam.
Ia menarik selimut perlahan...
tapi mata itu tetap di sana.
Mengawasi.
Menunggu.
Lalu… mata itu perlahan mundur ke dalam kegelapan, menghilang begitu saja
di balik lubang langit-langit. Tidak ada suara. Tidak ada gerakan lain.
Tapi Dimas tahu: ia tidak sendirian di rumah itu.
Dan seperti malam sebelumnya, ia
hanya bisa menunggu pagi datang… sambil berharap mata itu tidak muncul lagi dari tempat lain.
Pagi
itu, Dimas tidak masuk kerja. Ia bangun dengan tubuh lemas, mata sembab, dan
napas pendek-pendek seperti habis lari jauh. Tapi bukan karena sakit—melainkan takut yang tak habis-habis.
Ia duduk lama di pinggir ranjang, memandangi langit-langit kamar.
Celah tempat mata itu mengintip kini tertutup rapat, seperti tidak pernah
terbuka semalam. Tapi Dimas ingat jelas, ia tidak berkhayal. Ia tahu bentuk
mata itu… terlalu nyata. Terlalu dekat.
Sekitar pukul sembilan, ia akhirnya memutuskan naik ke atas
plafon. Ia ingin tahu. Harus tahu.
Ia menggeser lemari kecil, mengambil tangga
kayu lipat yang biasa ia pakai saat membersihkan sarang
laba-laba. Dengan hati-hati, ia membuka panel plafon di sudut kamar, dan
menaiki anak tangga satu per satu.
Gelap.
Bau debu tua, kayu lapuk, dan… sesuatu yang mirip anyir
menyambutnya. Ia menyalakan senter dari ponsel. Cahayanya lemah, tapi cukup
untuk melihat sekeliling.
Ruang sempit di atas plafon itu
kosong. Tidak ada apa-apa... kecuali jejak tangan
di dinding triplek, samar tapi jelas.
Lima jari. Panjang. Seperti
diseret dari atas.
Dimas menggigil. Tangannya memegang
ponsel erat-erat, sementara matanya menyapu sekeliling.
Lalu ia melihat sesuatu di pojok. Sebuah benda
kecil tergeletak—kain putih
yang digulung rapi.
Ia dekati perlahan, lalu
membukanya dengan ujung jari. Di dalamnya... gumpalan
rambut panjang, menghitam dan berbau busuk. Di sela-selanya,
sebuah cermin kecil retak tergelincir ke lantai plafon,
memantulkan cahaya samar.
Tapi bukan pantulan dirinya yang
terlihat.
Seseorang
berdiri di belakangnya.
Dimas membalikkan badan dengan panik, namun tidak ada siapa-siapa di sana.
Ia segera turun, menutup lubang
plafon dengan terburu-buru, dan menarik lemari kembali ke tempatnya.
Napasnya memburu. Keringat dingin
membasahi punggung.
Apa
yang sebenarnya tinggal di rumah ini...?
Dan lebih penting lagi:
Kenapa
ia merasa sosok itu belum selesai mengawasinya?
Hari
itu Dimas izin tidak masuk kerja lagi. Ia mengurung diri di kontrakan. Tirai
ditutup rapat, semua lampu dinyalakan. Bahkan televisi ia biarkan menyala tanpa
suara, hanya untuk membuat suasana tidak terlalu hening.
Namun tetap saja, ketakutan itu
menggantung di udara. Sejak menemukan rambut dan cermin retak
di plafon, pikirannya tak pernah tenang.
Siang itu, saat sedang duduk di ruang tengah sambil menggulir
ponsel—tanpa benar-benar membaca apa pun—ia mendengar suara pelan...
seperti air menetes.
Tuk...
tuk... tuk...
Dimas menoleh ke arah kamar mandi.
Terdengar suara shower yang mengalir, padahal ia yakin tidak
pernah menyalakannya sejak pagi. Ia berdiri, melangkah ragu, dan membuka pintu
kamar mandi dengan cepat—berharap menyergap sesuatu.
Tapi
kamar mandi itu kosong.
Shower menyala, air mengalir tenang. Namun yang membuat jantung
Dimas seperti diperas adalah lantai basah
yang penuh helaian rambut hitam, menempel dan menyumbat lubang
pembuangan.
Rambut
panjang, hitam, dan basah.
Dengan tangan gemetar, ia
mematikan keran dan mundur pelan. Ia kembali ke ruang tengah—berpikir ingin
keluar rumah saja, mencari warung kopi atau sekadar menghindari tempat itu.
Namun saat melangkah ke arah pintu
depan, ia berhenti.
Cermin
kecil dari plafon—yang tadi ia letakkan di meja sudut ruangan—kini berada tepat
di atas sepatu di dekat pintu.
Cerminnya retak. Tapi dalam
retakan itu, Dimas melihat pantulan yang
tidak sesuai.
Di belakangnya, tampak seorang perempuan berambut panjang berdiri menunduk.
Dimas membalikkan badan secepat
kilat—tidak ada siapa-siapa.
Ia kembali melihat ke cermin.
Sosok itu... masih ada.
Kini perlahan-lahan mengangkat
wajahnya. Wajah yang tidak punya
mata, hanya rongga hitam, dan mulutnya menyeringai seperti luka
robek.
Dengan panik, Dimas menyepak
cermin itu. Kaca kecil itu terlempar dan pecah di lantai, lalu... hilang. Seolah tak pernah ada.
Dimas terduduk, gemetar hebat.
Dia
tidak lagi mengintip dari plafon. Dia sudah turun.
Dan kini, ia
tinggal di cermin.
Keesokan
harinya, Dimas memaksakan diri masuk kerja. Ia tak mau dianggap lari dari
tanggung jawab. Tapi lebih dari itu, ia ingin melarikan
diri dari kontrakannya—tempat yang kini terasa lebih sempit
dari liang lahat.
Sepanjang hari ia seperti mayat hidup. Tak fokus. Tak berselera
makan. Rekan sekantornya, Rino, sempat menegur, “Kamu kenapa sih Mas Dim? Kayak
ngeliat setan…”
Dimas hanya tersenyum hambar. Ia sudah
lebih dari melihat setan. Ia tinggal bersama mereka.
Selesai lembur pukul sembilan malam, ia masuk ke mobil, ragu untuk
pulang. Tapi mau tidur di kantor pun bukan pilihan. Ia akhirnya memacu mobilnya,
menembus dinginnya malam dan bayang-bayang di kepalanya.
Ketika sampai di kontrakan dan membuka pintu, lampu depan berkedip-kedip seperti senter kehabisan baterai.
Lantai ruang tamu basah, seperti
habis disiram air.
Dengan perasaan berat, ia melangkah ke dalam.
Lalu
ia mendengarnya.
“Tuk...
tuk... tuk...”
Suara tetesan air—lagi. Kali ini
dari kamar tidurnya. Perlahan Dimas mendekat dan membuka pintu kamar...
...dan lantainya
becek.
Bukan hanya itu. Di atas lemari
pakaian, ada sesuatu yang menjuntai ke bawah.
Rambut.
Basah. Hitam. Panjang.
Tanpa sadar, Dimas mundur dan
hampir tergelincir. Ia lari ke dapur, mengambil sapu. Entah mau apa dengan sapu
itu, ia pun tak tahu.
Tapi saat kembali, rambut itu sudah tidak ada.
Namun bau anyir tetap ada. Bau
daging basah yang mulai membusuk.
Ia tak sanggup lagi. Ia buka pintu
dan berlari keluar... namun langkahnya terhenti.
Di ambang pintu, berdiri sosok perempuan itu, wajahnya hancur,
mulutnya menganga dengan suara geraman rendah, seperti suara pipa karatan yang
dipaksa mengalirkan air.
Ia tak bergerak. Hanya... menatap.
Menunggu.
Dimas jatuh terduduk. Matanya
kabur. Napasnya memburu.
Lalu... gelap.
Dimas terbangun
dengan napas tersengal dan tubuh menggigil. Ia berada di atas kasurnya, dalam
kamar yang gelap, hanya diterangi lampu jalan yang tembus dari celah jendela.
Selimut menyelimuti tubuhnya, padahal ia tidak ingat pernah kembali masuk ke
kamar.
Tidak ada jejak
basah di lantai. Tidak ada rambut. Tidak ada suara.
Tapi jantungnya
masih berdetak liar seperti genderang perang.
Ia bangkit
perlahan, tubuhnya lemas. Kepalanya berdenyut. Sekujur tubuhnya terasa berat,
seperti membawa sesuatu yang tak kasatmata.
“Ini
sudah cukup,”
gumamnya. “Aku harus keluar dari sini.”
Tanpa mandi,
tanpa sarapan, ia mengemas barang seadanya. Beberapa pakaian, laptop kantor,
dompet. Sisanya ia tinggalkan. Ia bahkan tak peduli dengan deposit kontrakan
atau isi kulkas.
Saat ia
menginjakkan kaki di ambang pintu dengan tas di punggung, ia merasa seperti
dihentikan oleh udara itu sendiri. Seolah sesuatu sedang menggenggamnya...
tak rela.
Ia menoleh ke
dalam.
Kamar itu kosong.
Tapi ada bayangan panjang di dinding—bayangan seorang wanita yang berdiri di
sudut ruangan.
Dimas menutup mata
dan melangkah pergi.
Siang
hari.
Ia menyewa kamar penginapan kecil di dekat pusat kota. Kamar itu terang,
bersih, dan tanpa gangguan. Ia merasa lebih aman. Setidaknya, sementara.
Namun malam
datang lagi.
Dan saat Dimas
berbaring, mencoba tidur...
...langit-langit
kamar terasa terlalu akrab. Sudut ruangan terlalu sunyi.
Ia mengalihkan
pandangan ke atas lemari kecil di pojok ruangan.
Kosong.
Ia menarik napas
lega.
Namun...
Saat ia menoleh
ke samping—ke cermin kecil yang tergantung di dekat tempat tidur—ada
bayangan di dalam cermin.
Seorang perempuan. Rambut panjang. Wajah rusak. Menatap langsung ke matanya.
Dimas melonjak.
Tapi saat ia menatap ke belakang... tak ada siapa-siapa.
Hanya cermin itu.
Tapi
bayangan di dalamnya masih menatap.
Ia tidak sedang
melihat dirinya sendiri.
Ia sedang
melihat... si penghuni itu.
Dan untuk pertama
kalinya... ia mendengar suara perempuan itu.
Lirih. Retak. Menyusup langsung ke pikirannya.
"Kamu
sudah menabrakku..."
"Kamu bawa aku pulang..."
"Kenapa kamu ingin tinggalkan aku...?"
Dimas berteriak
dan melempar cermin itu hingga pecah.
Paginya, Dimas kembali tak masuk kerja. Ia
hanya duduk di pojok kamar penginapan, memeluk lutut, mata sembab dan bengkak
karena tak tidur semalaman.
Ada ketukan di
pintu.
Pelan. Lalu dua
kali. Kemudian tiga.
Tapi saat dibuka,
tidak ada siapa-siapa.
Hanya satu benda
kecil tergeletak di lantai depan pintu.
Sebuah pecahan
kaca, dan di tengahnya...
helai rambut basah.
Dimas tak bisa
hidup seperti ini terus-menerus.
Sudah tiga malam
ia tak tidur. Setiap kali menutup mata, sosok itu datang. Menyeringai.
Menangis. Memanggilnya dengan suara parau yang seolah berasal dari dalam
dadanya sendiri.
Akhirnya, dengan
tubuh gemetar dan mata merah, Dimas memutuskan satu hal: ia harus kembali ke
tempat kecelakaan.
Ia butuh penutup.
Ia harus tahu, apa—atau siapa—yang telah ia bawa pulang malam itu.
Malam
itu, ia menyalakan
motor dan menuju jalan yang dulu ia lalui. Jalan itu sempit, gelap, dan jauh
dari lampu jalan. Hanya ada pohon-pohon kering dan semak liar yang mengerikan
dalam diamnya.
Angin malam
menyapu wajahnya, dingin dan getir.
Ketika sampai di
tikungan tajam, Dimas memperlambat laju. Inilah tempatnya. Tempat di
mana malam itu ia menabrak "sesuatu" yang membuatnya panik, tapi
terlalu lelah untuk peduli.
Ia berhenti.
Mesin motor dimatikan. Tak ada suara lain, hanya jangkrik dan desir daun.
Ia menyalakan
senter ponselnya. Menyusuri sisi jalan. Mengingat.
Lalu...
Ia melihat bekas goresan ban, dan beberapa pecahan plastik kecil—bagian
dari mobilnya yang dulu rusak ringan.
Dan di
dekatnya... tanah becek yang menghitam, seperti terbakar atau membusuk.
Tepat di atas
tanah itu, ada bunga melati berserakan.
Dimas mematung.
Napasnya tercekat.
Di seberang
jalan, di bawah pohon besar yang tertekuk aneh, berdiri seseorang.
Atau lebih
tepatnya... sesuatu.
Perempuan itu.
Rambut panjang menjuntai menutupi wajah. Bajunya sobek. Tangannya hitam legam,
seperti habis terbakar. Dan matanya...
Kosong.
Dimas tak bisa
bergerak. Ia ingin berlari, tapi tubuhnya beku.
Lalu sosok itu bicara.
“Kamu
tabrak aku... kamu tinggal aku...”
“Aku
hanya ingin pulang...”
Air mata mengalir
dari mata Dimas. Ia tak tahu kenapa, tapi hatinya seperti diremas. Ada rasa
bersalah yang begitu kuat mencengkeram dadanya.
“Aku
nggak tahu... aku nggak sengaja...” bisiknya parau.
Perempuan itu
melangkah. Pelan. Menembus tanah, seperti tak menapak.
“Kalau
kamu nggak bisa pulangkan aku...”
“...maka
aku akan tinggal bersamamu. Selamanya.”
Lalu semuanya
gelap.
Dimas
terbangun di rumah sakit.
Tubuhnya penuh
luka ringan. Perawat bilang ia ditemukan warga setempat, pingsan di pinggir
jalan dekat tikungan itu. Motornya tergeletak dengan lampu menyala.
Tapi satu hal
yang membuat merinding: warga yang menemukan Dimas mengaku melihatnya berbicara
sendiri di tengah gelap, sambil memegang bunga melati dan kain kafan
sobek.
Ketika ditanya,
Dimas hanya bisa berkata:
“Dia
masih bersamaku. Di sini. Dia nggak mau pergi.”
Dan saat malam
tiba, perawat yang berjaga mengaku mendengar Dimas berbicara dalam tidur—bukan
dengan suara sendiri, tapi suara perempuan.
Parau. Panjang. Menangis.
Setelah tiga hari
dirawat, Dimas akhirnya diperbolehkan pulang. Tapi rumah kontrakannya tak lagi
terasa seperti rumah. Bahkan sebelum membuka pintu, ia bisa merasakan hawa itu—dingin,
seperti napas dari liang tanah basah.
Begitu masuk,
aroma melati segera menyambut. Lembut tapi menusuk, seperti bunga yang dipetik
dari makam.
Ia memandangi
sekeliling. Semua tampak biasa. Tapi keheningan itu... bukan keheningan biasa.
Itu keheningan yang mengintai, seperti ada yang memandangi punggungnya
dari kegelapan.
Dimas mencoba
kembali ke rutinitas. Mandi. Makan. Istirahat. Tapi malam itu, saat ia hendak
tidur, sesuatu terasa salah.
Ia meletakkan
tubuhnya ke ranjang, memandangi langit-langit yang samar. Matanya berat, tapi
pikirannya gelisah. Dan perlahan...
Kasurnya
terasa berat di sisi kiri.
Seperti ada
seseorang yang naik ke atasnya, perlahan. Diam. Tidak bicara. Tidak
bernapas.
Jantungnya
berdetak cepat. Ia tak berani menoleh.
Dan tiba-tiba... bau
tanah basah dan darah menguar dari bawah selimut.
Dengan gemetar,
Dimas menarik selimut lebih tinggi, menutup seluruh tubuhnya. Ia berusaha
tidur. Berusaha menolak kenyataan bahwa sisi kasur itu bukan kosong.
Namun saat dia
hampir terlelap...
Sesuatu
membisikkan namanya.
Pelan. Dekat.
Langsung ke dalam telinga.
“Dimas... aku
sudah pulang...”
Ia melompat
bangun. Tapi kamar itu kosong. Seolah semuanya hanya mimpi.
Tapi saat menoleh
ke bantal sebelah...
Ada
bekas kepala yang basah.
Dan sehelai rambut panjang tertinggal di atas seprai putih.
Keesokan paginya,
Dimas datang ke kantor dengan mata merah, tubuh lelah. Teman-temannya mulai
khawatir, tapi ia hanya berkata:
“Aku baik-baik
saja... sekarang aku nggak pernah tidur sendirian lagi.”
Dan setiap malam
sejak itu, suara langkah kaki terdengar dari dapur. Kamar mandi kadang mengalir
sendiri air hangatnya. Dan selalu, kasurnya bergeser sedikit, seolah
memberi ruang untuk satu orang lagi.
Beberapa hari
berlalu sejak malam terakhir Dimas pulang dari rumah sakit. Kini, kehadiran
"penghuni" barunya semakin nyata —bak mimpi yang menembus tirai
antara dunia nyata dan bayangan.
Suatu
siang saat Dimas
tengah bekerja dari rumah karena masih lemah, ia turun ke ruang tamu untuk
merebus kopi. Meja kopi yang tak pernah bergeser... kini ada cangkir putih
pecah tersusun acak di tengah meja. Belum disadarinya, aroma kopi
menggantung, namun rasanya pahit dan tajam, berbeda.
Ia benar-benar
merasa diawasi. Tubuhnya tercekat saat meneguk sekali… lalu berhenti. Napasnya
terhenti ketika ia menyadari aliran kopi berhenti mengalir dari teko —meski
keran kompor belum diputus.
Saat menoleh ke cermin
di sudut ruangan...
Sosoknya
berdiri di sana.
Bukan menatap
langsung, melainkan menghadang bayangan dirinya sendiri.
Wajah yang
kosong. Mulutnya terbuka perlahan, wajahnya bergerak mendekat ke pantulan kaca.
Dimas melompat
—cangkir pecah bercecer ke lantai. Isinya membasahi karpet.
Sosok itu tidak
lari. Ia hanya diam, menatap. Seperti menunggu “tamu” untuk datang.
Malam
harinya, Dimas duduk di
kamar, gelisah. ia tak lagi berani masuk kamar tanpa menyalakan lampu malam
kecil dan menyalakan kipas untuk menutupi suara pintar. Bayangan terus
melintas.
Saat hendak tidur,
ia menyentuh bantalnya. Tercium bau anyir —seperti minggu lalu. Maka, ia
memindahkan bantalnya ke sisi sebaliknya. Tapi begitu ia berbaring…
Bantal
itu kembali bergeser sendiri.
Bantal kedua
bergeser lagi ke sisi sebelumnya. Seolah… seseorang ingin satu tempat khusus di
ranjang.
Sebelum bisa
berbalik, selimut tersentuh lembut. Diketuk perlahan di atas "tempat
tamu":
Tap…
tap… tap…
Dimas tidak
berani membuka mata. Ia biarkan jantungnya menggema.
Dan ia membiarkan
tubuhnya digelitik dingin, terasa seperti disapa lembut—namun dinginnya
membeku.
Di balik selimut…
Ada
tangan tipis yang merentang membelai pipinya.
— Rambut panjang menyentuh bahunya.
“Aku
menunggu…”
— Sebuah bisikan parau terdengar di benaknya.
Esoknya, sinar
matahari terasa menyakitkan. Suara burung berkicau seperti ejekan. Kopi pagi
terlalu kuat. Dan Dimas menyadari satu hal:
Pergi
tidak lagi cukup.
Setelah malam
yang terus diganggu, ia tahu ia tak bisa terus hidup seperti ini —terikat
pada penghuni yang tak diundang, tak bisa diusir, dan semakin lekat.
— Apakah ia
harus… menerima?
— Apakah ia harus… pergi?
Di nada terakhir,
Dimas mengambil langkah tak terduga:
Ia menyentuh
rambut yang tertinggal di sela pintu kamar, dan membawa helai itu ke atas
plafon, menaruhnya dalam kain putih sebagai persembahan. Ia memasang kembali
cermin di dinding, retak halus menghadap ke udara.
Suatu minggu
kemudian, rumah kontrakan itu kosong lagi.
Perabot
dikeluarkan, sisa pakaian disisihkan. Tidak ada yang tahu ke mana Dimas pergi.
Namun,
kawan-kawannya percaya: “Dia tinggal bersama tamunya.”
Dan malam itu,
kontrakan yang dulu sunyi itu tetap menyisakan nafas…
Cahaya lampu kecil berkedip, suara bisik "aku menunggu…"
Dan sebuah helai rambut hitam tergeletak di atas cermin retak, menggantung
sebagai tanda bahwa…
Yang tak Diundang itu… sudah sepakat.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
.jpg)
Komentar
Posting Komentar