#58 CERITA HOROR: SALES KELILING DI RUMAH MEWAH
Sales
Keliling di Rumah Mewah.
Setiap
pagi, Andika memulai rutinitasnya dengan langkah gontai. Tumpukan barang
elektronik yang berat di dalam tas ranselnya terasa seperti beban hidup yang
tak pernah habis. Menjadi seorang sales keliling dari rumah ke rumah
bukanlah pekerjaan impiannya, apalagi di bawah teriknya matahari dan di tengah
tatapan sinis orang-orang. Hatinya seringkali dipenuhi kegalauan, lelah fisik
dan batin, namun ia tak punya pilihan lain.
Satu-satunya
motivasi yang membuatnya bertahan adalah ibunya yang terbaring sakit. Biaya
berobat yang tak sedikit memaksa Andika untuk terus berjuang, mengetuk setiap
pintu dan menelan setiap penolakan dengan sabar. Ia harus menghasilkan uang,
seberapa pun kecilnya. Ia tak punya keahlian lain. Dalam keputusasaan, ia
berharap ada sebuah keajaiban yang bisa mengubah nasibnya. Ia tak menyangka,
keajaiban itu datang dalam bentuk sebuah rumah mewah, dan membawa serta misteri
yang jauh lebih mengerikan dari kesulitan hidupnya.
Pagi
itu, nasib Andika terasa sangat buruk. Setelah seharian berkeliling di
perumahan kelas menengah yang padat penduduk, tak ada satu pun barang
elektronik yang berhasil ia jual. Dari kipas angin mini portabel hingga power
bank canggih, semuanya ia tawarkan dengan ramah, namun jawaban yang ia
terima selalu sama dan dingin: "Tidak, terima kasih."
Pintu-pintu tertutup, tatapan sinis mengiringi langkahnya, dan semangatnya
perlahan terkikis.
Hari
mulai sore, dan Andika merasa sangat putus asa. Kakinya lemas, tenaganya habis,
dan kerongkongannya terasa kering. Ia memutuskan untuk mencoba satu perumahan
lagi yang letaknya cukup jauh, sebuah perumahan elit yang jarang ia
datangi karena ia tahu, penghuninya lebih sering berbelanja di mal besar.
Sesampainya
di sana, ia merasakan suasana yang sangat berbeda. Rumah-rumah mewah berdiri
kokoh, dikelilingi pagar tinggi dan taman yang terawat indah. Udara terasa
lebih sejuk dan sepi, tak ada suara bising atau anak-anak bermain. Di ujung
jalan, ia melihat sebuah rumah mewah yang paling besar. Gerbang besi
tingginya terbuka sedikit, seolah mengundang. Rumah itu tampak megah, namun ada
aura aneh yang terpancar darinya, seolah kosong dan sunyi, tidak ada
kehidupan di dalamnya.
Dengan
perasaan tak menentu, Andika memberanikan diri. Ia melangkah menuju gerbang dan
mengetuknya pelan. Tok! Tok! Tok!
Tidak
ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam. Ia mencoba mengetuk lagi, lebih
keras. Tok! Tok! Tok!
Tiba-tiba,
gerbang itu terbuka sepenuhnya dengan sendirinya, seolah ada yang menariknya
dari dalam. Seorang wanita paruh baya dengan wajah sendu dan tatapan
kosong berdiri di ambang pintu, menatapnya tanpa ekspresi. Andika merasa aneh
dengan tatapan itu, tapi ia mencoba tersenyum ramah dan profesional.
"Maaf
Bu. Saya sales keliling. Apa Ibu tertarik dengan barang-barang
elektronik?" tawar Andika dengan ramah, mengeluarkan kipas angin mini dari
dalam ranselnya. "Ini kipas angin mini Bu. Cocok buat di meja kerja atau
di kamar tidur."
Wanita
itu tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. "Silakan masuk
Nak. Di dalam saja. Di luar terlalu panas," katanya, suaranya pelan dan
serak, seolah sudah lama tidak digunakan untuk bicara.
Andika
terkejut, namun hatinya dipenuhi secercah harapan. Ini adalah pertama
kalinya ia dipersilakan masuk ke dalam rumah. Ini mungkin rezeki untuk
biaya berobat ibunya yang sangat ia butuhkan. Ia pun melangkah masuk dengan
perasaan gembira, tidak menyadari bahwa ia baru saja memasuki sebuah jebakan,
sebuah rumah yang akan menguji batas antara hidup dan mati.
Andika melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu, terpana oleh keindahan
dan kemewahannya. Interiornya begitu megah, dengan perabotan antik yang terawat
sempurna dan lukisan-lukisan klasik yang menghiasi dinding. Namun, ada keanehan
yang terasa di sana. Rumah itu terasa sangat dingin, bahkan lebih dingin
dari udara di luar. Rumah itu juga begitu sunyi, bahkan tidak ada suara
jam dinding yang berdetak.
Wanita
paruh baya itu tersenyum tipis, lalu menyuruhnya duduk di sofa beludru merah
yang empuk. Andika merasa aneh, tapi ia tetap duduk. Wanita itu kemudian
kembali dari dapur dan menyuguhkan secangkir teh hangat kepada Andika.
Aroma teh melati yang harum menyeruak, membuat Andika merasa sedikit lebih
tenang.
"Silakan
diminum Nak," kata wanita itu, suaranya masih pelan dan serak. "Maaf,
saya tidak punya uang tunai. Tapi mungkin kamu mau menukar barang elektronikmu
dengan barang antik di rumah ini?" tawar wanita itu, matanya
menatap Andika dengan penuh harap.
Andika
terkejut. Ia tidak pernah berpikir tentang tawaran seperti itu. "Barang
antik Bu?" tanyanya, bingung.
Wanita
itu mengangguk. "Ya. Rumah ini penuh dengan barang antik. Kami sudah
tinggal di sini puluhan tahun, tapi sudah lama kami tidak keluar."
Andika
merasa ada yang sangat ganjil. Kenapa orang-orang yang tinggal di rumah semewah
ini tidak pernah keluar? "Tidak keluar Bu? Kenapa?"
Wanita
itu tersenyum sendu, tatapannya menerawang jauh. "Sudah lama sekali Nak.
Sejak suami saya sakit. Saya tidak punya keberanian untuk keluar lagi. Saya
takut sendirian di luar sana."
Saat
wanita itu bercerita, pandangan Andika menjelajahi seisi ruangan. Ia melihat bingkai
foto-foto yang berjejer rapi di atas lemari kayu yang dipenuhi ukiran.
Foto-foto itu menunjukkan wanita itu bersama seorang pria paruh baya yang
terlihat sakit. Di salah satu foto, terlihat pria itu sedang berbaring di sebuah
ranjang, wajahnya pucat pasi. Andika mulai merasa sangat tidak nyaman.
Semua kejanggalan yang ia temukan, mulai dari keheningan yang mencekam hingga barisan
foto, membuat firasat buruknya semakin kuat. Ia menolak tawaran barang antik
dengan sopan dan berpamitan, namun wanita itu memohon agar ia tinggal sebentar,
seolah ia adalah satu-satunya harapan untuk mengusir kesepiannya.
"Jangan
pergi Nak. Saya kesepian. Suami saya juga suka ditemani," kata wanita itu
dengan suara pelan yang kini terdengar memelas.
Tiba-tiba,
ia mendengar suara batuk kering yang sangat pelan dari arah kamar tidur
di ujung koridor. Suara itu begitu lemah, seolah berasal dari seseorang yang
sudah sangat tua dan sakit. Wanita itu tersenyum sendu. "Itu suami saya
Nak. Dia masih sakit. Apa kamu mau menemuinya?" tawarnya.
Andika
menggelengkan kepala, ketakutan mencengkeramnya. Ia merasakan firasat buruk
yang sangat kuat, sebuah peringatan naluriah untuk segera keluar dari rumah
ini. Ia mencoba beranjak dari sofa, namun kakinya seolah berat untuk melangkah,
seolah ada kekuatan tak terlihat yang menahannya.
Pandangannya
secara tak sengaja tertuju pada sebuah cermin besar yang tergantung di
dinding ruang tamu. Ia melihat pantulan dirinya yang ketakutan, dengan wajah
pucat dan mata membelalak. Namun, di belakangnya... tidak ada siapa-siapa.
Ia
menoleh ke belakang, di sana masih ada wanita paruh baya itu, berdiri tegak di
sampingnya. Namun, di dalam cermin, pantulan wanita itu tidak ada.
Cermin itu hanya menunjukkan pantulan Andika dan perabotan kosong di
belakangnya. Andika terbelalak, jantungnya berdebar kencang. Ia menatap cermin,
lalu menatap wanita itu, berulang kali, mencoba mencari penjelasan logis, namun
tidak ada.
"Kenapa
Nak?" tanya wanita itu, suaranya terdengar dingin. Senyumnya kini terlihat
mengerikan, bibirnya ditarik ke atas, namun matanya tetap kosong. "Kamu
takut?"
Andika
mencoba lari, namun ia merasakan sebuah tangan dingin memegang erat
bahunya dari belakang. Tangan itu terasa seperti es, menembus kulit dan ototnya
hingga ke tulang. Ia berbalik, dan ia melihat sosok pria paruh baya yang
ada di foto, berdiri di samping wanita itu, dengan wajah pucat, mata cekung,
dan bibir kebiruan. Pria itu menatapnya, lalu berbisik dengan suara parau yang
sama dengan batuk yang ia dengar sebelumnya.
"Sudah
lama kami tidak kedatangan tamu..."
Andika tidak pernah berhasil keluar dari rumah mewah itu. Teriakan dan
permohonan ampunnya terkubur dalam keheningan yang mencekam. Tumpukan
koran-koran lama di depan gerbang rumah, yang sudah menguning dan membusuk,
menjadi saksi bisu bahwa rumah itu sudah lama kosong dan tak berpenghuni.
Cerita tentang rumah mewah di perumahan elit itu kini menjadi urban legend
yang diceritakan dari mulut ke mulut di kalangan warga. Mereka bilang, rumah
itu sudah tiga tahun lebih kosong setelah pemiliknya, sepasang suami
istri paruh baya, meninggal karena sakit. Dan mereka bilang, kadang di sore
hari, terlihat seorang pemuda membawa tas ransel keluar masuk gerbang,
namun tidak pernah ada yang melihatnya keluar lagi.
"Kasihan
sekali pemuda itu. Dia pasti sales keliling yang malang," bisik seorang
tetangga suatu sore, menunjuk ke arah rumah itu. "Mereka bilang, arwah di
sana menjebak siapa pun yang datang."
Di
sebuah rumah sederhana di sudut kota, ibunya Andika terus menunggu.
Setiap malam, ia duduk di teras, menatap jalan setapak, berharap bisa melihat
anaknya pulang. Hingga ajal menjemputnya, ia terus menunggu, tidak tahu bahwa
anaknya telah menemukan keajaiban yang ia harapkan, namun dengan harga yang
sangat mahal: nyawanya. Sebuah keajaiban yang tidak akan pernah bisa
membayarkan biaya berobatnya, karena kini, mereka berdua telah berada di dunia
yang sama.
Malam
itu, di dalam rumah mewah yang dingin, Andika duduk di sofa beludru,
menatap cermin besar. Di sana, ia melihat pantulan dirinya yang pucat dan di
sampingnya, sepasang suami istri paruh baya tersenyum. Bibirnya bergerak,
meniru ucapan wanita itu.
"Sudah lama kami tidak
kedatangan tamu..."
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar