#54 CERITA HOROR: AROMA MALAM DAN KAIN KAFAN
Aroma Malam
dan Kain Kafan
Setiap
malam, Bara, seorang pemuda pekerja keras, selalu pulang dalam temaram. Jam
kerjanya yang panjang di pusat kota seringkali memaksanya melintasi jalanan
sepi setelah lewat tengah malam. Sejak beberapa waktu lalu, ada satu hal aneh
yang selalu menyertainya: aroma bunga melati. Wangi itu begitu pekat,
seolah ada taman melati yang baru mekar di dekatnya, padahal ia tahu, tidak ada
satu pun kebun bunga di sepanjang rute pulang.
Awalnya
Bara tak terlalu memikirkannya. Ia mengira itu hanya wangi dari parfum
pengendara lain yang berpapasan, atau mungkin dari toko bunga yang entah
bagaimana ia lewati. Namun, wangi itu selalu muncul saat ia mengendarai
motornya di malam hari, dan selalu menghilang begitu ia memarkir motor di
garasi rumah. Ia mulai merasa sedikit aneh, namun sifatnya yang skeptis dan
lelah sehabis kerja membuatnya enggan memikirkannya lebih jauh. Ia tidak tahu,
bahwa aroma manis itu adalah pertanda, sebuah undangan dari dunia lain yang
telah lama menunggunya, yang semakin mendekat, hingga akhirnya menyingkapkan
kengerian yang tak pernah ia bayangkan.
Malam
itu, seperti malam-malam sebelumnya, Bara memacu motornya di jalanan
yang sepi, ditemani gemuruh mesin yang memecah keheningan. Angin malam yang
menerpa wajahnya terasa dingin, perlahan menghilangkan sedikit rasa kantuk
setelah seharian penuh bekerja di sebuah kantor percetakan di pusat kota. Jarum
jam di dashboard motornya menunjukkan pukul setengah dua belas malam.
Setelah melewati batas kota yang masih ramai dengan gemerlap lampu, jalanan di
depannya mulai meredup, semakin gelap, hanya diterangi lampu jalan yang
jaraknya berjauhan, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di aspal.
Tiba-tiba,
seperti sebuah kebiasaan yang tak terelakkan, aroma itu kembali menyeruak. Wangi
bunga melati yang pekat, sangat kuat, langsung memenuhi indra penciumannya,
terasa begitu menusuk hidung. Bara mengerutkan kening. Ia melirik ke kanan dan
kiri, matanya menyapu kegelapan di sepanjang pinggir jalan, berusaha mencari
sumber wangi yang misterius itu. Tidak ada apa-apa, hanya siluet semak-semak
dan pepohonan rindang yang berdiri membisu.
"Perasaan
saja kali," gumamnya, mencoba mengabaikan keanehan itu, meyakinkan dirinya
bahwa mungkin otaknya sedang berhalusinasi karena kelelahan. Namun, wangi itu
tak kunjung hilang. Bahkan terasa semakin kuat, seolah ia sedang mengendarai
motor melewati taman melati raksasa yang tak terlihat, dikelilingi
ribuan bunga yang baru mekar.
Ia
mempercepat laju motornya, berusaha keras mengusir pikiran-pikiran aneh dari
benaknya. Ia hanya berharap bisa segera tiba di rumah dan mengakhiri misteri
wangi aneh ini. Saat ia tiba di depan rumah, wangi itu masih tercium, namun mulai
memudar perlahan begitu ia mematikan mesin motor. Bara menggeleng-gelengkan
kepala.
"Aneh
sekali," bisiknya pada dirinya sendiri, rasa penasaran bercampur sedikit
kegelisahan mulai muncul.
Ia
memarkir motornya di garasi. Sebelum masuk rumah, ia mencoba mengendus-endus
jok motornya, bahkan knalpotnya, berharap menemukan jejak wangi itu. Namun,
nihil. Tidak ada wangi apa-apa yang menempel di motornya. Ia menghela napas,
mungkin memang hanya perasaannya saja, atau mungkin kelelahan memang membuat
indra penciumannya sedikit kacau. Ia memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi,
terlalu lelah untuk mencari tahu jawaban dari misteri yang tak bisa ia jangkau.
Namun,
keesokan malamnya, hal yang sama kembali terjadi. Begitu Bara melaju di jalanan
yang sepi dan gelap, aroma melati itu kembali. Kali ini, wanginya terasa
lebih pekat dari sebelumnya, seolah mengikat dirinya. Ia bahkan merasa
ada sedikit hawa dingin yang menyertai wangi itu, meskipun malam itu
tidak ada embusan angin yang berarti. Rasa dingin yang terasa aneh, bukan
dinginnya suhu malam biasa.
"Ada
apa sebenarnya ini?" gumamnya, mulai merasa tak nyaman, kegelisahan itu
berubah menjadi kecemasan. Ia melirik spion, namun hanya kegelapan yang
terlihat membayangi di belakangnya. Ia tidak melihat ada pengendara lain yang
berpapasan dengannya, atau bahkan sebuah mobil yang bisa menjadi sumber wangi.
Rasa sendirian di tengah wangi misterius itu membuatnya merinding.
Misteri
aroma melati yang pekat itu terus berlanjut selama beberapa malam
berikutnya, menjadi teman setia Bara di setiap perjalanan pulangnya. Ia mulai
merasa sedikit terganggu, bahkan jengkel. Setiap kali ia mulai mencium wangi
itu, ia merasakan hawa dingin yang tak wajar merayap di kulitnya dan bulu
kuduknya merinding. Ia pernah mencoba mengganti rute, mengambil jalan yang
lebih jauh dan berkelok, berharap bisa menghindari sumber wangi misterius itu,
namun hasilnya sama. Wangi itu tetap muncul, seolah tak peduli jalan mana yang
ia pilih.
Suatu
malam, saat ia melintasi jalanan yang paling sepi dan gelap, jauh dari
pemukiman warga, aroma melati itu muncul lagi. Kali ini, wanginya jauh lebih
kuat dari sebelumnya, sangat pekat hingga terasa menyesakkan napas. Bara
memutuskan untuk berhenti. Ia meminggirkan motornya ke bahu jalan, lalu
mematikan mesin. Keheningan segera menyelimuti, hanya terdengar suara napas
Bara yang mulai memburu. Wangi itu begitu pekat, seolah-olah ia sedang duduk di
antara ribuan bunga melati yang baru mekar, sebuah taman gaib yang tak
terlihat.
"Halo?
Ada orang di sana?" seru Bara, suaranya sedikit gemetar, mencoba memecah
keheningan yang mencekam. Ia mencoba melihat sekeliling, menerangi sekitarnya
dengan lampu senter dari ponselnya. Hanya gelap dan siluet semak belukar yang
tinggi serta pepohonan rindang yang tak terjamah. Tidak ada tanda-tanda
kehidupan lain.
Tiba-tiba,
sebuah bisikan lirih terdengar dari belakangnya, begitu dekat, seolah
diucapkan tepat di dekat telinganya.
"Wangi
sekali ya..."
Napas
Bara tertahan. Suara itu terdengar seperti suara wanita, sangat lembut, namun
dingin dan menyeramkan. Ia sontak berbalik, tubuhnya menegang, namun tidak ada
siapa-siapa. Jalanan di belakangnya kosong, gelap gulita, tanpa ada bayangan
pun.
"Si-siapa
itu?" tanya Bara lagi, suaranya kini bergetar hebat, tercekik oleh
ketakutan yang mendalam. Ia merasa jantungnya berdebar sangat kencang,
memukul-mukul dadanya.
Keheningan kembali menyelimuti, namun kali
ini, keheningan itu terasa lebih berat, lebih pekat, seolah ada sesuatu yang
tak terlihat sedang mengawasinya dengan saksama. Bara mencoba mencari-cari
sumber suara itu, mengedarkan pandangannya ke setiap sudut gelap, namun tidak
menemukan apa-apa. Bisikan itu terasa begitu nyata, terlalu dekat dan jelas
untuk diabaikan sebagai sekadar imajinasi.
Tanpa
berpikir panjang lagi, Bara segera menyalakan motornya. Dengan cepat ia tancap
gas, membiarkan mesin motor meraung memecah kesunyian. Ia tidak ingin
berlama-lama di tempat itu barang sedetik pun. Wangi melati itu semakin
menusuk, bahkan seolah menempel erat padanya. Ia juga merasa ada hawa dingin
yang merayap di punggungnya, seolah ada sesuatu yang mengikutinya dari
dekat, melaju bersamanya. Ia terus memacu motornya secepat mungkin, tak peduli
berapa pun kecepatan yang ia capai, wangi itu seolah tak terpisahkan, menempel
erat pada dirinya dan motornya.
Malam
itu, setelah berhasil tiba di rumah dan memarkir motor dengan tergesa, Bara
bahkan bermimpi buruk. Ia bermimpi melihat sesosok wanita berbaju putih
lusuh dengan rambut panjang terurai yang acak-acakan, sedang tersenyum
padanya di tengah taman melati yang gelap dan berkabut. Senyumnya begitu
menakutkan, dengan mata yang memancarkan kesedihan yang mendalam
sekaligus kengerian. Bara terbangun dengan keringat dingin membanjiri seluruh
tubuhnya, napasnya terengah-engah, dan bayangan wajah wanita dalam mimpinya
terasa begitu nyata, seolah ia baru saja berhadapan langsung dengannya.
Ketakutan Bara semakin menjadi-jadi.
Kejadian demi kejadian misterius itu menguras mentalnya. Ia tidak berani lagi
pulang larut malam, meskipun itu berarti gajinya akan berkurang drastis karena
ia tidak bisa bekerja dengan jam maksimal. Ia mulai mengatur strateginya,
berusaha pulang lebih awal, bahkan sebelum maghrib, jika memungkinkan. Ia tak
ingin lagi berhadapan dengan aroma melati dan bisikan aneh itu.
Namun,
takdir berkata lain. Suatu hari, ada proyek penting di kantor yang harus
diselesaikan tepat waktu. Proyek itu sangat mendesak dan mengharuskan Bara
untuk lembur hingga larut malam. Ia tahu risikonya, namun tidak ada pilihan
lain. Pekerjaan adalah prioritas.
"Yah,
mau bagaimana lagi," gumamnya pasrah, saat jam menunjukkan pukul satu dini
hari dan ia baru saja selesai bekerja. "Semoga tidak ada apa-apa malam
ini." Ia mencoba menenangkan dirinya, meyakinkan bahwa mungkin
keberuntungan akan berpihak padanya kali ini.
Ia
memacu motornya di bawah langit malam yang pekat, tanpa bintang, hanya
ada kegelapan yang membentang. Seperti yang sudah ia duga, begitu ia memasuki
jalanan sepi yang sering ia lewati, aroma melati itu kembali menyeruak.
Kali ini, wanginya begitu kuat, sangat pekat hingga membuatnya pusing dan
sedikit mual. Ia berusaha mengabaikannya, memejamkan mata sejenak, menarik
napas dalam-dalam, lalu membukanya lagi, berharap aroma itu menghilang. Namun,
wangi itu tetap ada, menempel erat, seolah tak mau pergi.
Namun,
kali ini berbeda. Aroma itu tidak hanya dihirup, tapi juga dirasakan.
Bara merasa jok motornya tiba-tiba terasa lebih berat, seolah ada beban
tambahan yang tiba-tiba menduduki bagian belakang motornya. Bobot itu begitu
nyata, membuat motornya sedikit oleng. Ia mencoba melirik spion samping, namun
yang ia lihat hanyalah bayangan samar yang gelap, seolah ada gumpalan
kabut hitam pekat yang menempel di jok belakang motornya, mengikuti setiap
gerakannya. Bentuknya tidak jelas, namun keberadaannya sangat terasa.
Bara
semakin ketakutan. Keringat dingin mulai bercucuran di seluruh tubuhnya,
meskipun udara malam terasa menusuk. Ia mempercepat laju motornya, berusaha
mengusir beban tak kasat mata itu, namun berat itu tidak hilang. Bahkan, terasa
semakin menekan, membuatnya kesulitan mengendalikan motor, lajunya
terasa melambat. Tiba-tiba, ia mendengar suara dengkuran berat yang
samar, sangat dekat, seolah ada yang bernapas tepat di belakang telinganya.
"Jangan
lari Nak..." bisikan itu terdengar lagi, lebih berat, lebih dalam, seperti
suara orang tua yang serak dan parau, namun terdengar jelas di tengah gemuruh
motor. "Aku ikut denganmu... aku rindu..."
Jantung Bara berdegup kencang, nyaris
meledak dari dadanya. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang,
seolah ada tangan tak kasat mata yang menjulur dan memeluknya erat dari
belakang, membonceng di motornya. Rasa dingin itu bukan dinginnya angin malam
biasa, melainkan dingin yang mematikan. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat,
menahan jeritan yang ingin keluar dari tenggorokannya. Ia tahu, ia tidak
sendirian di motor itu. Ia sedang membawa penumpang tak diundang, dan
penumpang itu tak berniat pergi.
Bara
berhasil tiba di rumah dengan selamat, sebuah keajaiban mengingat teror yang
baru saja ia alami. Saat ia mematikan mesin motor di dalam garasi, tubuhnya
bergetar hebat tak terkendali, dan seluruh tubuhnya dipenuhi keringat
dingin meskipun udara malam cukup sejuk. Setelah memarkir motornya, ia
segera masuk ke dalam rumah, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan. Ia
langsung menuju kamar mandi, menyalakan keran, dan membiarkan air dingin
mengguyur tubuhnya. Ia berharap air bisa menghilangkan rasa dingin yang menusuk
tulang dan ketakutan yang menempel padanya. Namun, bayangan gelap dan
bisikan mengerikan dari malam itu terus menghantuinya. Ia tidak bisa tidur sama
sekali malam itu, hanya berbaring gelisah di ranjang, matanya terpejam namun
pikirannya berkelana dalam kengerian.
Keesokan
paginya, setelah sedikit lebih tenang meskipun masih dilingkupi kegelisahan,
Bara memutuskan untuk membersihkan motornya. Ia merasa perlu
menghilangkan semua jejak 'pengganggu' malam itu, seolah dengan membersihkan
motor, ia bisa menghapus pengalaman mengerikan tersebut dari ingatannya. Ia
mengambil lap basah dan mulai mengelap jok motor, membersihkan bodi yang
sedikit berdebu.
Saat
ia mengangkat jok motor untuk mengecek mesin bagian dalam, matanya terpaku pada
sesuatu yang tersembunyi di bawahnya. Ada sebuah gulungan kain berwarna
putih kusam, tersembunyi rapi di sana, seolah sengaja diletakkan atau
diselipkan dengan sengaja. Jantung Bara berdebar lebih cepat. Perasaan tidak
enak mulai merayap.
Dengan
tangan gemetar, Bara meraih gulungan kain itu. Rasa dingin yang aneh, serupa
dengan dingin yang ia rasakan semalam, menyentuh jemarinya. Saat ia perlahan
membukanya, sebuah bau anyir yang menusuk hidung langsung menyeruak,
jauh lebih busuk dan busuk daripada aroma melati yang biasa ia cium. Bau itu
seperti campuran bunga busuk, tanah lembap, dan sesuatu yang telah lama mati.
Dan
di tangannya, terbentanglah selembar kain kafan yang lusuh, berwarna
putih kecoklatan dan kusam, dengan bercak-bercak kekuningan di sana-sini,
seperti noda darah kering atau lumpur yang telah mengering. Itu adalah baju
pocong, kain pembungkus jenazah, yang sudah lama tak terpakai, dan bau tanah
kuburan basah masih menempel pekat padanya.
Darah
Bara seolah berhenti mengalir. Napasnya tercekat di tenggorokan. Ia menatap
kain itu, lalu ke motornya, lalu kembali ke kain itu. Sebuah gambaran
mengerikan melintas di benaknya, begitu jelas dan nyata: sosok itu bukan
hanya mengikutinya dari belakang. Sosok itu duduk di motornya,
bersamanya, menempel erat di jok belakang, sepanjang malam. Aroma melati yang
selalu ia cium... itu bukan hanya wangi semata. Itu adalah wangi yang sengaja
ditinggalkan, penanda kehadiran yang tak kasat mata.
"Tidak
mungkin..." gumam Bara, suaranya parau, hampir tak terdengar. "Ini
tidak mungkin..."
Tubuh
Bara merosot. Ia terduduk lemas di lantai garasi yang dingin, memandangi kain
kafan di tangannya dengan tatapan kosong dan mata yang membelalak. Semua yang
ia alami selama berminggu-minggu, semua bisikan dan perasaan diawasi, semua
hawa dingin dan berat yang menekan, kini menemukan jawaban yang jauh lebih
menakutkan daripada yang ia bayangkan. Jawaban itu bukan sekadar takhayul; itu
adalah kenyataan yang tak bisa ia sangkal lagi. Ia tidak pernah benar-benar
sendirian di perjalanan pulang malam itu.
Bara
tidak pernah lagi bisa tidur tenang setelah penemuan itu. Kain kafan itu,
setelah ia buang jauh-jauh, seolah meninggalkan jejak permanen di benaknya. Ia
tidak berani lagi pulang malam. Ia bahkan memutuskan untuk mencari pekerjaan
baru yang memiliki jam kerja lebih normal, meskipun itu berarti ia harus
menerima gaji yang lebih kecil. Motor kesayangannya pun ia jual, tidak sanggup
lagi mengendarainya setelah menyadari siapa 'penumpang' setianya setiap malam.
Namun,
kenangan akan aroma melati dan bisikan dingin itu tak pernah pudar. Sesekali,
saat ia sedang berjalan di keramaian, ia akan mencium samar aroma melati, dan
seketika bulu kuduknya meremang. Ia akan segera mempercepat langkahnya,
berharap itu hanya ilusi. Ia kini selalu membawa tasbih di sakunya, dan
seringkali berdoa di dalam hati.
Bara
belajar sebuah pelajaran pahit: bahwa dunia ini memiliki sisi gelap yang tak
terlihat, dan kadang, hal yang kita anggap sepele bisa menjadi pertanda
kengerian yang tak terbayangkan. Ia tak lagi skeptis. Ia kini percaya. Percaya
bahwa ada entitas lain yang berbagi ruang dengan kita, dan terkadang, mereka
hanya ingin menemani, dengan cara mereka sendiri yang menyeramkan. Aroma
melati, baginya, kini bukan lagi wangi yang indah. Itu adalah aroma kematian,
sebuah pengingat abadi akan malam-malam mencekam yang ia lalui bersama seorang penumpang
tak kasat mata di jok belakang motornya.
-- TAMAT --
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar